ASSALAAMU'ALAIKUM DI MAS HUDA ON-LINE

BERDOALAH DENGAN NAMA-NAMA TERBAIKKU DALAM ASMAULKHUSNA...!

Selasa, 05 Mei 2009

Hudhayfa Ibnul Yaman

Penduduk kota Madain berduyun-duyun keluar untuk menyambut kedatangan wali negeri mereka yang baru diangkat serta dipilih oleh Amirul Mu'minin Umar ra. Mereka pergi menyambutnya, karena lamalah sudah hati mereka rindu untuk bertemu muka dengan shahabat Nabi yang mulia ini, yang telah banyak mereka dengar mengenai keshalihan dan ketaqwaannya, begitu pula tentang jasa-jasanya dalam membebaskan tanah Irak.
Ketika mereka sedang menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba muncullah di hadapan mereka seorang laki-laki dengan wajah berseri-seri. Ia mengendarai seekor keledai yang beralaskan kain usang, sedang kedua kakinya teruantai ke bawah, kedua tangannya memegang roti serta garam sedang mulutnya sedang mengunyah.

Demi ia berada di tengah-tengah orang banyak dan mereka tahu bahwa orang itu tidak lain dari Hudhayfa Ibnul Yaman, maka mereka jadi bingung dan hampir-hampir tidak percaya. Tetapi apa yang akan diherankan? Corak kepemimpinan bagaimana yang mereka nantikan sebagai pilihan Umar? Hal itu dapat difahami, karena baik di masa kerajaan Persi yang terkenal itu atau sebelumnya, tak pernah diketahui adanya corak pemimpin semulia ini.
Hudhayfa meneruskan perjalanan sedang orang-orang berkerumun dan mengelilinginya. Dan ketika dilihat bahwa mereka menatapnya seolah-olah menunggu amanat, diperhatikannya air muka mereka, lalu katanya, "Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah!" Ujar mereka, "Di manakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu Abdillah?" Ujarnya, "Pintu rumah para pembesar!" Seorang di antara kalian masuk menemui mereka dan mengiakan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik yang tak pernah mereka lakukan!"

Suatu pernyataan yang luar biasa di samping sangat mena'jubkan! Dari ucapan yang mereka dengar dari wali negeri yang baru ini, orang-orang segera beroleh kesimpulan bahwa tak ada yang lebih dibencinya tentang apa saja yang terdapat di dunia ini, begitupun yang lebih hina dalam pandangan matanya daripada kemunafikan. Dan pernyataan ini sekaligus merupakan ungkapan yang paling tepat terhadap kepribadian wali negeri baru ini, serta sistem yang akan ditempuhnya dalam pemerintahan.

Hudhayfa Ibnu Yaman memasuki arena kehidupan ini dengan bekal tabi'at istimewa. Di antara ciri-cirinya ialah anti kemunafikan dan mampu melihat jejak dan gejalanya walau tersembunyi di tempat-tempat yang jauh sekalipun. Semenjak ia bersama saudaranya, Shafwan, menemani bapaknya menghadap Rasulullah SAW dan ketiganya memeluk Islam, sementara Islam menyebabkan wataknya bertambah terang dan cemerlang, maka sungguh, ia menjaganya secara teguh dan suci, serta tulus dan gagah berani dan diapndangnya sifat pengecut, bohong dan kemunafikan sebagai sifat yang rendah dan hina.

Ia terdidik ditangan Rasulullah SAW dengan kalbu terbuka tak ubah bagai cahaya shubuh, hingga tak suatupun dari persoalan hidupnya yang tersembunyi. Tak ada rahasia terpendam dalam lubuk hatinya, seorang yang benar dan jujur, mencintai orang-orang yng teguh membela kebenaran, sebaliknya mengutuk orang-orang yang berbelit-belit dan riya, orang-orang culas bermuka dua!
Ia bergaul dengan Rasulullah SAW dan sungguh, tak ada lagi tempat baik di mana bakat Hudhayfa ini tumbuh subur dan berkembang sebagai halnya di arena ini, yakni dalam pengkuan agama Islam, di hadapan Rasulullah SAW dan di tengah-tengah golongan besar kaum perintis dari shahabat-shahabat Rasulullah SAW. Bakatnya ini benar-benar tumbuh menurut kenyataan, hingga ia berhasil mencapai keahlian dalam membaca tabi'at dan airmuka seseorang. Dalam waktu selintas kilas, ia dapat menebak airmuka dan tanpa susah payah akan mampu menyelidiki rahasia-rahasia yang tersembunyi serta simpanan yang terpendam.

Kemampuannya dalam hal ini telah sampai kepada apa yang diinginkannya, hingga Amirul Mu'minin Umar r.a. yang dikenal sebagai orang yang penuh dengan inspirasi, seorang yang cerdas dan ahli, sering juga mengandalkan pendapat Hudhayfa, begitu pula ketajaman pandangannya dalam memilih tokoh dan mengenali mereka. Sungguh Hudhayfa telah dikaruniai fikiran jernih, menyebabkannya sampai pada suatu kesimpulan, bahwa dalam kehidupan ini sesuatu yang biak itu adalah yang jelas dan gamblang, yakni bagi orang yang betul-betul menginginkannya. Sebaliknya yang jelek ialah yang gelap atau samar-samar, dan karena itu orang yang bijaksana hendaklah mempelajari sumber-sumber kejahatan ini dan kemungkinan-kemungkinannya.

Demikianlah Hudhayfa r.a terus menerus mempelajari kejahatan dan orang-orang jahat, kemunafikan dan orang-orang munafiq. Berkata ia, "Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya. Pernah kubertanya, 'Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini, apakah dibalik kebaikan ini ada kejahatan?' 'Ada', ujarnya. 'Kemudian apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan?' tanyaku pula. 'Memang, tetapi kabur dan bahaya.' 'Apakah bahaya itu?' 'Yaitu segolongan ummat mengikuti sunnah bukan sunnahku, dan mengikuti petunjuk bukan petunjukku. Kenalilah mereka olehmu dan laranglah.' "

'Kemudian setelah kebaikan tersebut masihkan ada lagi kejahatan?' tanyaku pula. 'Masih,' ujar Nabi, 'Yakni para tukang seru di pintu neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka!' Lalu kutanyakan kepada Rasulullah, 'Ya Rasulullah, apa yang harus saya perbuat bila saya menghadapi hal demikian?' Ujar Rasulullah, 'Senantiasa mengikuti jama'ah kaum muslimin dan pemimpin mereka!' 'Bagaimana kalau mereka tidak punya jama'ah dan tidak pula pemimpin?' 'Hendaklah kamu tinggalkan golongan itu semua, walau kamu akan tinggal dirumpun kayu sampai kamu menemui ajal dalam keadaan demikian!'

Nah, tidakkah anda perhatikan ucapannya, "Orang-orang menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan kepadanya tentang kejahatan, karena takut akan terlibat di dalamnya." Hudhayfa Ibnu Yaman menempuh kehidupan ini dengan mata terbuka dan hati waspada terhadap sumber-sumber fitnah dan liku-likunya demi menjaga diri dan memperingatkan manusia terhadap bahayanya. Dengan demikian ia menganalisa kehidupan dunia ini dan mengkaji pribadi orang serta meraba situasi. Semua masalah itu diolah dan digodok dalam akan fikirannya lalu dituangkan dalam ungkapan seorang filosof yang 'arif dan bijaksana.

Berkatalah ia, "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah membangkitkan Muhammad SAW, maka diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannyalah, hingga dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup, dan dengan kebatilan yang hidup menjadi mati! Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa kekhalifahan menurut jejak beliau, dan setelah itu tiba zaman kerajaan durjana."
Di antara manusia ada yang menerima, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menerima yang haq. Dan di antara mereka ada yang menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menentang yang haq. Dan di antara mereka ada yang menentang dengan hati dan lisannya tanpa mengikut sertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan suatu cabang dari yang haq.

Dan apapula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikut sertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua cabang dari yang haq. Dan adapula yang tidak menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka golongan ini adalah mayat-mayat bernyawa.
Ia juga berbicara tentang hati, dan mengenai kehidupannya yang beroleh petunjuk dan yang sesat, katanya, "Hati itu ada empat macam: Hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir. Hati yang dua muka, itulah dia hati orang munafiq. Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang menyala, itulah dia hati orang yang beriman. Dan hati yang berisi keimanan dan kemunafikan. Tamsil keimanan itu adalah laksana sebatang kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan itu tak ubahnya bagai bisul yang diairi darah dan nanah. Maka mana di antara keduanya yang lebih kuat, itulah yang menang."

Pengalaman Hudhayfa yang luas tentang kejahatan dan ketekunannya untuk melawan dan menentangnya, menyebabkan lidah dan kata-katanya menjadi tajam dan pedas. Hal ini diakuinya kepada kita secara ksatria, katanya, "Saya datang menemui Rasulullah SAW, kataku padanya, 'Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam terhadap keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan saya masuk neraka.' Maka ujar Rasulullah SAW, 'Kenapa kamu tidak beristighfar?' 'Sungguh, saya beristighfar kepada Allah tiap hari seratus kali.' " Nah inilah dia Hudhayfa musuh kemunafikan dan shahabat keterbukaan. Dan tokoh semacam ini pastilah imannya teguh dan kecintaannya mendalam. Demikianlah pula halnya Hudhayfa, dalam keimanan dan kecintaannya. Disaksikannya bapaknya yang telah beragama Islam tewas di perang Uhud, dan ditangan srikandi Islam sendiri yang melakukan kekhilafan karena menyangkanya sebagai orang musyrik.

Hudhayfa melihat dari jauh pedang sedang dihujamkan kepada ayahnya, ia berteriak, "Ayahku.. ayahku... Jangan ia ayahku.." Tetapi qadla Allah telah tiba. Dan ketika kaum muslimin mengetahui hal itu, merekapun diliputi suasana duka dan sama-sama membisu. Tetapi sambil memandangi mereka dengan sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, katanya, "Semoga Allah mengampuni tuan-tuan, Ia adalah sebaik-baik Penyayang."
Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat berkecamuknya pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas kewajibannya. Akhirnya peperanganpun usailah dan berita tersebut sampai ke telinga Rasulullah SAW. Maka disuruhnya membayar diyat atas terbunuhnya ayahanda Hudhayfa (Husail bin Yabir) yang ternyata ditolak oleh Hudhayfa ini dan disuruh membagikannya kepada kaum muslimin. Hal itu menambah sayang dan tingginya penilaian Rasulullah terhadap dirinya.

Keimanan dan kecintaan Hudhayfa tidak kenal lelah dan lemah, bahkan juga tidak kenal mustahil. Sewaktu perang Khandaq, yakni setelah merayapnya kegelisahan dalam barisan kafir Quraisy dan sekutu-sekutu mereka dari golongan Yahudi, Rasulullah SAW bermaksud hendak mengentahui perkembangan terakhir di lingkungan perkemahan musuh-musuhnya.
Ketika itu malam gelap gulita dan menakutkan, sementara angin topan dan badai meraung dan menderu-deru, seolah-olah hendak mencabut dan menggulingkan gunung-gunung sahara yang berdiri tegak ditempatnya. Dan suasana di kala itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan kegelisahan, mengundang kekecewaan dan kecemasan, sementara kelaparan telah mencapai saat-saat yang gawat di kalangan para shahabat Rasulullah SAW.

Maka siapakah ketika itu yang memiliki kekuatan apapun kekuatan itu yang berani berjalan ke tengah-tengah perkemahan musuh di tengah-tengah bahaya besar yang sedang mengancam, menghantui dan memburunya, untuk secara diam-diam menyelinap ke dalam, yakni untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan mereka? Maka Rasulullah yang memilih di antara para shahabatnya, orang yang akan melaksanakan tugas yang amat sulit ini, dan tahukah anda, siapa kiranya pahlawan yang dipilihnya itu? Itulah Hudhayfa Ibnu Yaman.

Ia dipanggil oleh Rasulullah SAW untuk melakukan tugas, dan dengan patuh dipenuhinya. Dan sebagai bukti kejujurannya, ketika ia mengisahkan peristiwa tersebut dinyatakannya bahwa ia mau tak mau harus menerimanya. Hal itu menjadi petunjuk, bahwa sebenarnya ia takut menghadapi tugas yang dipikulkan atas pundaknya serta khawatir akan akibatnya. Apalagi bila diingat bahwa ia harus melakukannya dalam keadaan lapar dan timpaan hujan es, serta keadaan jasmaniah yang amat lemah, sebagai akibat pengepungan orang-orang musyrik selama satu bulan atau lebih.

Dan sungguh, peristiwa yang dialami oleh Hudhayfa malam itu, amat mena'jubkan sekali. Ia telah menempuh jarak yang terbentang di antara kedua perkemahan dan berhasil menembus kepungan, lalu secara diam-diam menyelinap ke perkemahan musuh. Ketika itu angin kencang telah memadamkan alat-alat penerangan fihak lawan hingga mereka berada dalam gelap gulita, sementara Hudhayfa ra telah mengambil tempat di tengah-tengah prajurit musuh itu.
Abu Sufyan, yakni panglima besar Quraisy, takut kalau-kalau kegelapan malam itu dimanfaatkan oleh mata-mata kaum muslimin untuk menyusup ke perkemahan mereka. Maka iapun berdirilah untuk memperingatkan anak buahnya. Seruan yang diucapkan dengan keras kedengaran oleh Hudhayfa dan bunyinya sebagai berikut, "Hai segenap golongan Quraisy, hendaklah masing-masing kalian memperhatikan kawan duduknya dan memegang tangan serta mengetahui siapa namanya."

Kata Hudhayfa, "Maka segeralah saya menjabat tangan laki-laki yang duduk di dekatku, kataku kepadanya, 'Siapa kamu ini?' Ujarnya, 'Si Anu anak si Anu.' Demikianlah Hudhayfa mengamankan kehadirannya di kalangan tentara musuh itu hingga selamat. Abu Sufyan mengulangi lagi seruan kepada tentaranya, katanya, "Hai orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi, kuda-kuda kita telah binasa, demikian juga halnya unta."
"Bani Quraidhah telah pula mengkhianati kita hingga kita mengalami akibat yang tidak kita inginkan. Dan sebagaimana kalian saksikan sendiri, kita telah mengalami bencana angin badai, periuk-periuk berpelantingan, api menjadi padam dan kemah-kemah berantakan. Maka berangkatlah kalian sayapun akan berangkat." Lalu ia naik ke punggung untanya dan mulai berangkat, diikuti dari belakang oleh tentaranya. Kata Hudhayfa, "Kalau tidaklah pesan Rasulullah SAW kepada saya agar saya tidak mengambil sesuatu tindakan sebelum menemuinya lebih dulu, tentulah saya bunuh Abu Sufyan itu dengan anak panah."

Hudhayfa kembali kepada Rasulullah SAW dan menceritakan keadaan musuh, serta menyampaikan berita gembira itu. Barangsiapa yang pernah bertemu muka dengan Hudhayfa dan merenungkan buah fikiran dan hasil filsafatnya serta tekunnya untuk mencapai ma'rifat, tak mungkin akan mengharapkan daripadanya sesuatu kepahlawanan di medan perang atau pertempuran.
Tetapi anehnya dalam bidang inipun Hudhayfa melenyapkan segala dugaan itu. Laki-laki santri yang teguh beribadat dan pemikir ini, akan menunjukkan kepahlawanan yang luar biasa di kala ia menggenggam pedang menghadapi tentara berhala dan pembela kesesatan. Cukuplah sebagai bukti bahwa ia merupakan orang ketiga atau kelima dalam deretan tokoh-tokoh terpenting pada pembebasan seluruh wilayah Irak. Kota-kota Hamdan, Rai dan Dainawar, selesai pembebasannya di bawah komando Hudhayfa.

Dan dalam pertempuran besar Nahawand, di mana orang-orang Persi berhasil menghimpun 150 ribu tentara, Amirul Mu'minin Umar memilih sebagai panglima Islam Nu'man bin Muqarrin, sedang kepada Hudhayfa dikirimnya surat agar ia menuju tempat itu sebagai komandan dari tentara Kufah. Kepada para pejuang itu Umar mengirimkan surat, katanya, "Jika kaum muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar ialah Nu'man bin Muqarrin. Dan seandainya Nu'man tewas, maka panji-panji komando hendaklah dipegang oleh Hudhayfa, dan kalau ia tewas pula maka oleh Jarir bin Abdillah."

Amirul Mu'minin masih menyebutkan beberapa nama lagi, ada tujuh orang banyaknya yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan. Dan kedua pasukanpun berhadapanlah. Pasukan Persi dengan 150 ribu tentara, sedang Kaum Muslimin dengan 30 ribu orang pejuang, tidak lebih. Perang berkobar, suatu pertempuran yang tak ada tolak bandingnya, perang terdasyat dan paling sengit dikenal oleh sejarah.
Panglima besar kaum muslimin gugur sebagai syahid, Nu'man bin Muqarrin tewaslah sudah. Tetapi sebelum bendera kaum muslimin menyentuh tanah, panglima yang baru telah menyambutnya dengan tangan kanannya, dan angin kemenanganpun meniup dan menggiring tentara maju ke muka dengan semangat penuh dan keberanian luar biasa. Dan panglima yang bru itu tiada lain dari Hudhayfa Ibnul Yaman. Bendera segera disambutnya, dan dipesankannya agar kematian Nu'man tidak disiarkan, sebelum peperangan berketentuan. Lalu dipanggilnya Na'im bin Muqarrin dan ditempatkan pada kedudukan saudaranya Nu'man, sebagai penghormatan kepadanya.

Dan semua itu dilaksanakannya dengan kecekatan, bertindak dalam waktu hanya beberapa saat, sedang roda peperangan berputar cepat, kemudian bagai angin puting beliung ia maju menerjang barisan Persi sambil menyerukan, "Allahu Akbar, Ia telah menepati janji-Nya, Allahu Akbar, telah dibela-Nya tentara-Nya". Lalu diputarlah kekang kudanya ke arah anak buahnya, dan berseru, "Hai ummat Muhammad SAW, pintu-pintu surga telah terbuka lebar, siap sedia menyambut kedatangan tuan-tuan, jangan biarkan ia menunggu lebih lama, Ayolah wahai pahlawan-pahlawan Badar, Majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq dan Tabuk." Dengan ucapan-ucapannya itu Hudhayfa telah memelihara semangat tempur dan ketahanan anak buahnya, jika tak dapat dikatakan telah menambah dan melipat gandakannya. Dan kesudahannya perang berakhir dengan kekalahan pahit bagi orang-orang Persi, suatu kekalahan yang jarang ditemukan bandingannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MATA RANTAI SEJARAH INTELEKTUALITAS ISLAM, TOKOH DAN PENGARUHNYA TERHADAP DUNIA

ABASIYAH DAN TRADISI KEILMUAN

Pendahuluan
Masa kekuasaan Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Bagdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M), selain itu ada satu lagi kerajaan yang cukup menonjol dalam sejarah keemasaan Islam adalah kerajaan Umayyah di Spanyol yang berlangsung kurang lebih delapan Abab (711-1492). Masing-masing berpusat di Bagdad dan Cordova, dua tempat ini mewakili kejayaan negara Islam di Timur dan negara Islam di Barat.
Pembahasan topik ini cukup menarik mengingat pada masa ini adalah masa kejayaan Islam dalam bidang keilmuan, disamping kehebatan sistem politik, kemiliteran dan lain sebagainya yang kesemuanya kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah ini. Untuk kepentingan pendidikan kita terfokus kepada keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjelajah keilmuan dan dengan karya-karyanya mereka, mulai dari aliran, fiqh, tafsir, ilmu hadits teologi, filsafat sampai kepada bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, satra sampai kepada ilmu kedokteran. Tentunya kita masih ingat tokoh empat imam madhab, Ibnu Sina, Zakaria ar-Razi, Ibnu Maskawaih, al-Farabi, al-Kindi, dan sebagainya, mereka semua hidup pada masa ini.
Sebuah masyarakat (Abbasiyah) yang punya kesadaran yang tinggi akan ilmu, hal ini ditunjukan masyarakat yang sangat antusias dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, banyaknya perpustakaan-perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum dan juga hadirnya perpustakaan Bayt al-Hikmah yang disponsori oleh khalifah pada waktu yang membantu dalam menciptakan iklim akademik yang kondusif. Tak heran jika kita menemukan tokoh-tokoh besar yang lahir pada masa ini. Tradisi intelektual inilah yang seharusnya kita contoh, sebagai usaha sadar keilmuan kita dalam mengejar ketertinggalan dan ini segera lepas dari keterpurukan.
Dalam makalah ini penulis hanya membatasi kepada pembahasan seputar tradisi intelektual pada masa Abbasiyah dengan perpustakaan yang sangat berperan pada masa ini yaitu Bayt- al-Hikmah, bagaimana peran lembaga Bayt- al-Hikmah dalam pengembangan keilmuan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan apa saja tradisi keintelektualan yang terjadi pada masa ini(Abbasiyah).

Sekilas Daulah Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaan khilafah Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang Walaupun dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja'far al-Manshur, tetapi puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu :

1) al-Mahdi (775-785 M)
2) al-Hadi (775- 786 M)
3) Harun al-Rasyid (786-809 M)
4) al-Ma'mun (813-833 M)
5) al-Mu'tashim (833-842 M)
6) al-Wasiq (842-847 M)
7) al-Mutawakkil (847-861 M).

Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang 23 tahun itu merupakan permulaan zaman keemasan bagi sejarah dunia Islam belahan timur, seperti halnya masa pemerintahan Emir Abdulrahman II (206-238 H/822-852 M) di Cordova merupakan permulaan Zaman keemasan dalam sejarah dunia Islam belahan Barat.
Khalifah Harun al-Rasyid memanfaatkan Kekayaannya untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya, lebih–lebih lagi dengan adanya lembaga keilmuan yaitu bayt al-hikmah. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi bagaikan perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan tempat berkumpul untuk berdiskusi.
Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.

Kehidupan Intelektual

Kehidupan intelektual di zaman dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu al-quran dan Hadits. Dari kedua sumber ini lalu muncullah berbagai keilmuan lainnya. Ilmu-ilmu al-Qur-an dan ilmu-ilmu hadits adalah dua serangkaian seri pengetahuan yag menjadi pokok perhatian dan fokus perhatian waktu itu. Perhatian itu bisa dilihat dengan banyaknya kitab yang ditulis untuk menjelaskan al-Qur'an.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal kebangkitan Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :
1) Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2) Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Kemajuan diraih paling tidak, dipengaruhi beberapa hal di antaranya: Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, sastra serta karya-karya dari Persia juga diterjemahkan. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
Tradisi yang paling berpengaruh dalam menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif adalah gerakan penterjemahan. Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase.
Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran, daripada hadits dan pendapat sahabat.
Dalam perkembangan pemikiran keilmuan keislaman. kita mengenal Imam-imam mazhab hukum yang empat, mereka semua hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah yaitu; Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi'i (767-820 M) Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Karya/buku-buku tafsir dari ulama’ yang hidup pada zaman abasiyah adalah kitab al-jami’ al-Bayan yang ditulis at-Tabari (225 H/839 M-310 H/923 M), al-Kasysyaf oleh az-Zamakhsyari (467 H/1075 M-538 H/1144 M), dan Mafatih al-Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi (543 H/1149 M-606 H/1189 M). Disamping itu para ulama juga mengumpulkan hadits, seperti; al-Musnad oleh Ahmad bin Hambal (w. 241 H/885 M). pengumpulan enam kitab yang dikenal al-kutub as sittah dpelopori oleh Bukhori (256 H/870 M), Muslim (261 H/875 M), Abu Daud (275 H/888 M), at-Tirmizi (279 H/892 M), an-nisa’i (303 H/915 M), dan Ibnu Majah (273 H/886 M).
Tradisi berdiskusi juga telah berkembang, adanya bayt al-hikmah sebagai tempat berkumpul untuk bertukar pikiran dan berdebat masalah keilmuan membantu dalam menciptakan suasana keilmuan yang kondusif. Dari diskusi, maka muncullah berbagai pemikiran kreatif sampai kepada aliran-aliran pemikiran.
Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam.
Perkembangan Ilmu-ilmu umum bisa dilihat dari, misalnya; ilmu kedokteran (at-Tibb) dengan didukung adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Ilmu matematika, astronomi dikembangkan dengan fasilitas didirikannya observatorium pada masa khalifah al-Ma’mun di Sinjar. Dengan adanya observatorium itu menunjukan adanya tradisi penelitian/ekperimen yang tinggi di bidang ilmu eksak, tradisi ini juga berkembang pada penelitian hadits sehingga muncul berbagai kitab hadits.
Dalam bidang astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.
Bidang kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn. al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata.
Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu.
Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah.
Dalam bidang sejarah Islam terkenal nama at-Tabari, al-Birudi. Dan al-Mas'udi. Al-Mas’udi juga dikenal sebagai ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir. Sebagain besar sejarawan periode Abbasiyah mempelajari dan menulis tentang sejarah hidup Nabi SAW (sirah). Salah satu sirah yang adalah yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq (w. 150 H/767 M).
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Penerjemahan buku-buku asing marak dilakukan pada masa ini, tidak saja karya orang Nestoris dan aliran Neoplatonis dari Mesopotania juga banyak, bahkan khalifah juga berusaha untuk membeli berbagai karya ilmiah klasik dari kalangan manapun dan dari bahsa manapun termasuk bahasa yunani, persia dan lainya, termasuk musuh politik mereka sekalipun, jika tidak memperoleh manuskrip dengan penaklukan.
Perhatian masyarakat sangat tinggi dibidang sastra, bisa dikatakan Pada abad ini adalah abad keemasan sastra Arab dan sejarah, masyarakat arab sangat membanggakan sastra dan asal usul mereka, dalam periode awal abbasiyah telah didapati banyak terjemahan dari bahasa Pahleli atau adaptasi dari bahasa persia. Banyak orang-orang yang gemar untuk menulis sastra dan sejarah kabilah-kabilah mereka, kehebatan nenek moyang meraka sangat dibanggakan. Bagian sejarah yang penting adalah riwayat nabi Muhammad.
Berkembanganya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini (Abbasiyah) antara lain karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif, ditambah dengan dukungan dari khalifah pada waktu itu dengan mengfasilitasi terciptanya iklim intelektual yang kondusi. Sumbangsih Pada era ini, didukung sikap umat Islam yang terbuka terhadap seluruh umat manusia yang datang berinteraksi dengan mereka, hal inilah menimbulkan simpati dan mendorong orang-orang non arab (mawali) untuk masuk Islam. Kelompok ini ikut mamberi sumbangan besar bagi kemajuan paradaban pada masa ini. Para ilmuan pada masa ini menduduki posisi penting.

Latarbelakang Berdirinya Bayt- al-Hikmah

Pada masa daulah Abbasiyah, ibu kota Bagdad menjadi pusat intelektual muslim, di mana terjadi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Perpustakaan adalah salah satu cara yang ditempuh oleh orang dahulu untuk menyiarkan ilmu pengetahuan. Pada masa itu buku-buku sulit untuk dimiliki karena belum ada mesin percetakan sehingga penyebarannya masih melalui tulisan tangan. Sehingga wajar buku-buku yang ada hanya dimiliki atau mampu dibeli oleh golongan kaya atau yang memilki kemauan keras untuk menuntut ilmu pengetahuan. Oleh kerena itu keberadaan perpustakaan sangat menolong dan bermanfaat bagi orang-orang yang ingin menggali maupun menyebarkan ilmu pengetahuan.
Berbagai buku dikumpulkan diperpustakaan dan dibuka untuk umum. Dalam peradaban yang tinggi untuk ukuran saat itu, buku-buku mempunyai nilai moril yang sangat tinggi. Keberadaan buku dimuliakan, pengahargaan meraka terhadap buku-buku menjadikan meraka sangat mendukung pendirian dan keberadaan perpustakaan. Banyak perpustakaan yang tidak hanya didirikan di tempat-tempat umum oleh penguasa (khalifah), tetapi juga di rumah-rumah para pembesar dan orang kaya, karena bagaimanapun keberadaanya perpustakaan akan menjadi rumah itu lebih baik bersemarak dan tuan rumahnya menjadi orang terpandang dan mulia.
Tersedianya berbagai buku serta kajian ilmiah yang dilakukan dalam perpustakaan tersebut telah menjadi salah satu bibit tumbuhnya lembaga tinggi Islam yang pertama, seperti Akademi Bayt- al-Hikmah di Bagdad dan Akademi Dar al-Hikmah dengan Cairo. Jadi keberadaan perpustakaan dalam tradisi keilmuan Islam, mempunyai peran bukan saja sebagai sarana peminjaman buku, namun sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini juga yang terjadi pada perpustakaan Bayt- al-Hikmah yang disamping berfungsi sabagai perpustakaan untuk merangsang gerakan penerjemahan karya-karya logika, keilmuan dan filsafat dalam bahasa Arab juga telah menjadi pusat transmisi keilmuan pada masa daulah Abbasiyah.
Menurut Ibnu al-Nadhim, Bayt- al-Hikmah dibangan pada masa Khalifah Harun al-Rasyaid dan dilanjutkan pada masa Khalifah al-Amin untuk kemudian direnovasi kembali oleh Khalifah al-Ma’mun pada tahun 217/832 M dengan biaya sebesar satu juta dolar. Hal ini ditunjukan dengan adanya ‘Abu Sahl al-Fadl bin Naubakhat yang bertugas menerjemahkan buku-buku asing, yaitu dari buku-buku yang ditulis kedalam Persi ke dalam bahasa Arab di Khazanah al-Hikmah pada masa Harun al-Rasyid dan ‘Allan al-Syu’ubi asal Persia yang bertugas menulis buku-buku pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, Al-Ma’mun dan keluarga al-Baramikah.

Faktor-Faktor Pendorong Perkembangan Bayt al-Hikmah
Keberadaan Bayt- al-Hikmah yang membawa dunia intelektual Islam kemasa kejayaan dan keemasan abad tengah, tentu saja telah mengundang mnat para ahli untuk menganalisa dan mempelajari kondisi-kondisi internal sebagai faktor penyebab kemajuan perkembangannya. Disini dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong perkembangan Bayt- al-Hikmah tersebut, baik yang bersifat intern maupun ekstern.
Faktor–faktor intern yang dimaksud adalah:
1) Terciptanya stabilitas politik, kemakmuran ekonomi dan adanya dukungan dari khalifah Abbasiyah, karena mempunyai kecenderungan kepada ilmu pengetahuan, sebagai pendorong utama laju berkembangnya lembaga Bayt- al-Hikmah sejak masa khalifah al-Ma’mun. Khalifah ini selalu berupaya mendukung kegiatan Bayt- al-Hikmah, seperti memberi penghargan tinggi bagi sarjana-sarjana yang mempunyai reputasi yang tinggi dan bidangnya. Ia telah memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para penerjamah yang ditugaskan di Bayt- al-Hikmah.
2) Adanya kebebasan keintektualan dan interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim, serta toleransi dan suasana penuh keterbukaan.
3) Adanya respon umat Islam terhadap usaha pengembangan Ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat keagamaan dan disertai pemikiran yang rasional.
4) Menurut azzumardi Azra dalam bukunya; “Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Tinggi”, sebagai berikut:
“Kemajuan pendidikan seperti yang ada di Bayt- al-Hikmah ini, disamping didorong ajaran-ajarannya Islam yang menuntut penganutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,juga karena kemampuan masyarakat mewujudkan situasi keilmuan yang dinamis. Pendidikan tinggi Islam tidak bersifat eksklusif, ia terbuka terhadap pikiran-pikiran non-muslim. Objektifitas keilmuan yang direfleksikan dengan penerimaan diktum-diktum ilmiah secra kritis melalui perdebatan-perdebatan intelektual meratakan jalan bagi kemajuan pikiran Islam.
Pendidikan tinggi Islam sebagai pusat intelektual tidak berubah menjadi “menara gading” yang steril dan terasing dari lingkungan masyarakatnya. Ia responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan yang mengitarinya. Sebagaimana terlihat, ia terbuka bagi setiap pencinta Ilmu, tanpa dibarengi oleh birokrasi-birokrasi dan formalitas yang ketat.”
5) Adanya pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, di mana tiap-tiap golongan berusaha untuk mempertahankan wujud dirinya, dan memerlukan bahan-bahan perdebatan. Hal ini terjadi antara Mu’tazilah dan golongan Ahl al-Sunnah wal Jama’ah.
6) Situasi politik saat itu, dimana setiap tokoh yang berkuasa harus bisa mengambil hati rakyatnya agar tetap menaruh simpati pada pemimpinnya. Itulah para khalifah Abbasiyah telah mengalihkan perhatian rakyat pada pentingnya ilmu pengetahuan yang memang begitu diminati masyarakat Arab pada waktu itu.
7) Terpadunya peranan Bayt- al-Hikmah sebagai lembaga penerjemahan, akademi, perpustakaan dan observatorium, menyebabkan lembaga tersebut dapat mengoptimalkan perannya dalam transmisi ilmu pengetahuan.

Sedangkan beberapa faktor intern yang berperan besar dalam pendirian dan pengembangan Bayt- al-Hikmah ini adalah:
1) Adanya kesepakatan antara Kaisar Romawi dan Kalifah al-Ma’mun yag isinya telah memperkenankan kepada khalifah al-ma’mun untuk menjalin berbagai buku langka peninggalan Yunani kono yang ada di wilayah imperium Romawi dan membawa buku-buku tersebut ke Bayt- al-Hikmah di Bagdad.
2) Kesediaan orang-orang Kristen Nestorius untuk bekerja di Bayt- al-Hikmah dan membantu khalifah dalam menerjemahkan buku-buku asing tersebut ke dalam bahasa Arab seperti yang telah dilakukan oleh Hunain bin Ishaq dan murid-muridnya.
3) Muncul dan berkembangnya pemikiran Yunani dan Persia yang sangat mempengaruhi model pemerintahan khalifah Abbasiyah. Sebab pemikiran tersebut sangat mendukung untuk mmeperkenalkan idealnya manusia mengenai pengukuhan diri kalangan aristokrasi. Seorang aristokrat haruslah seorang yang menguasai berbagai bidang pengetahuan, kepustakaan, sejarah, filsafat, dan agama.

Keunggulan Bayt al-Hikmah
Koleksi yang dimiliki oleh Bayt al-Hikmah cukup lengkap mulai dari buku-buku agama Islam (kitab-kitab Tafsir, hadits/al-Kutub as Sittah, teologi sampai kepada buku Sains; Astronomi, Matematika, Sejarah, Kedokteran (Al Hawi oleh Muhammada bin Zakaria, Ali Abbas dengan kitab al- Malki, Ibnu Sina dengan al-Qanun fi at Tibb dan sebagainya) ditambah lagi dengan kitab-kitab sastra dan buku-buku yang dihadirkan dari hasil terjemahan. Koleksi yang dimiliki tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur'an berhiaskan emas dan perak disimpah diruang terpisah. Menurut Cyril Elgood:
Buku-buku lainya—tentang ilmu-ilmu hukum (figih), tata bahasa, retorika, sejarah, biografi, astronomi, dan ilmu kimia—tersimpan dalam rak (peti) buku yang luas di sekitar (sepanjang) dinding, yang terbagi dalam susunan di atas rak-rak buku, masing-masing memiliki satu pintu dengan sebuah kunci. Di atas pintu masing-masing bagian, tergantung satu daftar buku-buku yang ada di dalamnya, demikian pula peringatan (keterangan) tentang buku-buku yang tidak ada dari masing-masing cabang ilmu pengetahuan.

Bayt al-Hikmah bukan hanya sekedar sebagai perpustakaan saja dengan koleksi bukunya, tetapi dia berfungsi sebagai lembaga penerbitan dan lembaga penerjemahan, yang tentunya dari berbagai buku yang di terjemahkan tanpa melihat latar belakangnya dan hal ini mendapat dukungan yang tinggi dari khalifah pada waktu itu dengan menunjuk orang sebagai penerjemah dan sampai kepada pembelian buku dari daerah lain jika daerah itu belum di taklukan oleh khalifah.
Disamping itu Bayt al-Hikmah berfungsi sebagai observatorium, tempat untuk melakukan eksperimen, dan juga sebagai tempat berkumpul untuk berdiskusi, sehingga dari hasil diskusi dan penelitian ini maka akan menghasilkan ilmu baru dan nantinya akan di terbitkan menjadi buku.

Membangun Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam
Jika kita perhatikan masa kejayaan Islam (Abbasiyah), tentunya hal yang menarik kita perhatikan adalah tingginya tradisi keilmuan masyarakat. Tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang meraka kuasai. Bagi mereka adalah kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu.
Tradisi intelektual terlihat dari; kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau yang disponsori oleh khalifah, para ulama sengaja open hause bagi siapa aja yang datang kerumahnya untuk membaca (mencari ilmu). Kedudukan meraka juga dimata masyarakat sangat mulia. Sedemikian cintanya masyarakat akan ilmu sampai-sampai khalifah pada waktu itu untuk merebut hati masyarakat harus memberi perhatian kepada pengembangan ilmu, jadi tidak heran khalifah mendirikan perpustakaan dan beberapa penghargaan bagi ulama atau orang-orang yang berhasil menemukan keilmuan baru.
Hasil membaca meraka kemudian didiskusikan dan kembangkan lagi, meraka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat berdiskusi, dari sinilah memunculkan ide/keilmuan baru, tercipta tradisi menulis, menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi, sehingga kita bisa menikmati hasilnya dari karya-karya mereka.
Tradisi penelitian juga kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu dalam bidang sains; matematika; kedokteran, astronomi dan lainya. Hal ini juga kita bisa amati dari adanya observatorium yang berada di sinjar pada khalifah al-Ma’mun, atau adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Penelitian akan hadits dan lain sebagainya. Itulah Keingintahuan meraka yang sangat tinggi bukan hanya keilmuan yang bernuansa keislaman tapi juga bernuangsa ilmu alam.
Kebebasan—keterbukaan berpikir dan kecintaan ilmu memotivasi kegiatan penerjemahan pada waktu itu tanpa memandang dari mana buku itu dan siapa pengarangnya, mereka tidak melihat lagi latarbelakang agama, maupun bangsa (daerah), malah meraka bisa kerjasama dalam keilmuan dengan bangsa lain atau orang-orang non Islam tanpa sedikitpun takut akan hilang atau rusaknya akidah meraka.
Tradisi yang sama juga telah berkembang di tradisi keilmuan barat; motivasi mereka sangat tinggi untuk mencari ilmu, tradisi membaca dan berdiskusi tinggi, tradisi meneliti yang tinggi, keterbukaan berfikir dan kebutuhan untuk berkarya juga sangat tinggi. Teknologi dan informasi kebanyakan dikuasai oleh barat, banyak temuan dan peraih nobel pengetahuan bukan dari kalangan Islam.
Inilah menurut penulis kemajuan Barat dan Islam Abbasiyah dalam hal ilmu pengetahuan yang perlu kita kembangkan untuk kemajuan dibidang pendidikan Islam. Inilah yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dengan membangun tradisi keilmuan yang kondusif dalam lingkungan masyarakat akademis. Menciptakan tradisi membaca, tradisi menulis, berdiskusi, meneliti, keberanian untuk berfikir kreatif dan terbuka dengan keilmuan lainya.
Probem pendidikan Islam adalah problem sistemik, kita perlu melibatkan berbagai pihak untuk bisa lepas dari keterpurukan. Mulai dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan secara makro bagi sistem pendidikan nasional dan sebagai pengayom pelaksanaannya, lembaga pendidikan Islam, pendidik, peserta didik sampai kepada orang tua pendidik (anak didik) harus dilibatkan dengan resposibility yang tinggi.
Pemerintah menjadi faktor penting dalam membangun iklim belajar yang kondusif, yang mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai; sarana praktikum, buku dan gedung yang kondusif untuk sarana belajar dan akses pendidikan untuk warga miskin. Pemerintah harus cermat dalam menentukan anggaran pendidikan serta mengawalnya, sehingga tidak ada penyelewengan anggaran pendidikan yang hal itu memperngaruhi pelaksanaan program pendidikan.
Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektual (membaca, menulis, meneliti dan berdikusi serta berkarya) di kampus atau disekolah, misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang bisa mengembangkan daya pikir, kreatifitas, membuat program-program lainya untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.
Bagi orang tua membantu menciptakan suasana akademis dirumah, dengan mengarahkan meraka untuk belajar dan selalu memotivasi meraka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik, orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah terbantu oleh orang tua ketika mereka berada diluar sekolah. Antara sekolah (lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya. Hal ini memungkinan untuk mengetahui dan selanjutnya membicarkan problem-prolem pendidikan yang sedang terjadi, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk berbagai pihak
Pengembangan tradisi-tradisi keintelektualan, harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar dan dari lingkup terkecil, keluarga. Jika tradisi tersebut tidak dikembangkan dari pendidkan dasar dan keluarga, maka pendidik akan kesulitan menciptakan tradisi keilmuan untuk mereka, sehingga penciptaan tradisi itu selalu terlambat untuk diterapkan. Butuh proses yang panjang dalam mewujudkannya, tapi jangan pesimis melihat wajah pendidikan Islam saat ini.

Penutup
Pada masa inilah Islam meraih kejayaanya. Banyak kontribusi keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiyah.
Dari kajian ini, diharapkan mampu menyadarkan kita akan pentingnya lingkungan intelektual yang kondusif dan memotivasi untuk mencari ilmu. Belajar sejarah akan tidak ada gunanya jika kita tidak bisa mengambil pelajaran darinya. Amin. Wallauhu a’lam bisshowab

Daftar Pustaka

Amin Mansur. Sejarah Peradaban Islam.. (Bandung: Indonesia Spirit Faoundation, 2004)
Azra Azumardi, Esei-eseiIntelektual Muslim dan Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1998)
Hanafi Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
Hasan Ibrahim, Sejarah dan kebudayaan Islam (islamic History and Culture) terj. Djahdan Humam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989)
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abasiyah I. (Jakarta: Bulan Bintang. 1977)
Langgulung Hasan, Manusia Dan pendidikan; Suatu Analisa Psikologis, filsafat dan Pendidikan. (Jakarta: Al-Husna Baru, 2004) Cet. V
Lapidus Ira M.,. Sejarah Sosial Umat Islam (A-History of Islamic Societies), bag I, Terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999)
Lubis Nur Ahmad Fadhil. Ensiklopedi Tematis dunia Islam (Khilafah), (Jakarta: Ikhtiayas Baru Van Hoeve.)
Mahmudunnasir Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya. (Bandung: Rosda Karya, 1991)
Maryam Siti, ed. Sejarah Peradaban Islam; dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta: LESFI. 2003)
Nakosteen Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis abad keemasan Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996)
Salabi, Ahmad. Tarikh al—Tarbiyah al-Islamiayah, (al-Misriyah: Maktabah al-Nadhaoh, 1987)
Watt W. Montgomery, Kejayaan Islam; Kajian kritis dari Tokoh Orientalis. (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1990)
Zuhairini dkk,. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1997)

Renaissance Islam dan Perkembangan Sains

A. Pendahuluan

Teknologi dan segala kemajuan yang dicapainya tidak akan terlepas dari ilmu pengetahuan dan kemajuannya. Maka amatlah penting bila kita melihat peran ajaran Islam bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karena para ilmuwan Barat melihat bahwasanya segala kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan tidak ada kaitannya dengan Agama –di Barat maupun Timur- dengan argumen bahwasanya agama yang absolut ajarannya bersifat statis, sedangkan ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan progresif, dengan perbedaan tersebut –menurut ilmuwan Barat- agama tidak dapat mengikuti kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Seperti yang telah diketahui, Yunani adalah tempat dimana lahir filsafat dan ilmu pengetahuan, sekitar 600 tahun sebelum masehi. Dalam pemikiran alam sekitar mereka, para filosof Yunani seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros, Heraklitus, Demokritus yang diikuti oleh Phytagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles banyak memakai akal dalam melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Selanjutnya ditangan para filosof Yunani ilmu pengetahuan berkembang demikian pesatnya. Perlu ditegaskan disini, pada waktu itu ilmu dan filsafat merupakan satu kesatuan dan belum terpisahkan sebagaimana hari ini. Maka akal dalam ilmu pengetahuan, sama dengan filsafat, mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting sekali.

Selama ini ada asumsi bahwa antara agama (yang mempunyai ajaran absolut dan dogma yang diwahyukan dari Tuhan) dan ilmu pengetahuan yang banyak bergantung pada akal yang kebenarannya relatif dan dinamis, terdapat pertentangan keras. Lembaran-lembaran sejarah menunjukkan bahwa di Barat pada era medieval terjadi pertentangan yang sangat sengit antara ilmu pengetahuan dan agama; di Timur juga kita jumpai hal serupa pada masa antara abad 13 dan 20.

Disini timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya sikap agama (baca:Islam) terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan serta perkembangan tekhnologi? Jawaban pertanyaan ini terletak pada hakikat kedudukan akal dalam agama yang bersangkutan. Agama yang menjunjung tinggi akal tidak akan kesulitan dalam menjawab segala perubahan dan modernisasi karena ia tidak akan berbenturan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya akan mempunyai hubungan yang harmonis dan akur.

B. Islam, Akal dan Sains

Dalam lembaran sejarah peradaban Islam kita bisa melihat hubungan yang harmonis antara agama dan akal, selama lima abad, dimulai dari abad ke delapan sampai abad ketiga belas Masehi. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam Islam akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan akal memiliki posisi penting dalam Islam.

Akal merupakan suatu daya yang hanya dimiliki manusia, oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Akal merupakan tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Islam sebagai agama pamungkas datang berbicara kepada akal dan bukan lagi pada perasaannya. Dalam banyak aspek keagamaan sendiri akal sangat berperan. Dalam ayat al-qur’an yang jumlahnya kurang lebih 6.250 itu, hanya 500 ayat yang membicarakan ajaran mengenai akidah, ibadah dan hidup kemasyarakatan. Disamping itu ada sekitar 150an ayat yang menerangkan tentang fenomena nature (alam). Mayoritas ayat-ayat tersebut turun dalam bentuk prinsip dan garis besar yang belum terperinci. Disini, dalam memahami perincian tersebut peran akal sangat besar. Pemakaian akal, yang mempunyai kedudukan tinggi dalam al qur’an dan hadits itulah yang kemudian disebut ijtihad. Oleh karena itu ijtihad (menurut mayoritas ulama) merupakan salah satu sumber dari ajaran Islam setelah al-qur’an dan sunnah.

Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum alam ciptaan Tuhan (sunnatullah), keduanya berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah. Maka antara keduanya tidak akan pernah ada pertentangan. Ayat kawniyyah dalam al-qur’an yang mengajarkan manusia agar memperhatikan fenomena alam, mendorong para ulama klasik untuk mempelajari dan meneliti alam sekitar. Berkembanglah dalam Islam, pada abad antara kedelapan dan ketiga belas Masehi, ilmu-ilmu pengetahuan duniawi. Perkembangan ini dimulai dengan penerjemahan berbagai buku Yunani kedalam bahasa arab yang terkonsentrasikan di Bayt al Hikmah Baghdad. Ilmu-ilmu yang tercakup dalam gerakan penerjemahan ini adalah kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi dan filsafat serta logika. Diantara buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah karangan-karangan dari Galinus, Hipokritus, Ptolomeus, Euclidus, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Buku-buku tersebut kemudian dipelajari oleh ulama-ulama Islam.

Ilmuwan dan ulama Islam zaman silam bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang mereka peroleh dari peradaban Yunani kuno, tapi mereka juga mengembangkan dan menambah serta mengkritisi karya-karya tersebut kedalam hasil penyelidikan dan penelitian mereka sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam bidang filsafat dan logika. Dengan demikian, lahirlah para ilmuwan disamping ulama yang ahli agama. Untuk pengembangannya didirikan universitas-universitas yang terkemuka, diantaranya adalah Universitas Cordoba di Spanyol, Al-Azhar di Kairo dan Universitas An-Nidzamiyyah di Baghdad. Universitas Cordoba ikut menyertakan orang-orang non-muslim dari negara-negara Eropa lainnya.

Ilmu yang pertama menarik perhatian Khalifah dan ulama waktu itu adalah kedokteran. ‘Ali bin Rabbar Al-Thabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah adalah dokter pertama yang terkenal dalam Islam, Abu Bakar ar Razi (865-925 M) yang terkenal dengan nama Rhazes pernah menjadi pimpinan rumah sakit terkenal di Baghdad. Kedua magnum opusnya dalam bidang kedokteran, kitab Athibb al-Manshuri dan Al-Hawi diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Ada juga filosof Islam yang juga dikenal dalam bidang kedokteran, yaitu Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Al Qanun fi at-Thibbnya Ibn Sina dan Al-Kulliyyat fi at-Thibbnya Ibn Rusyd juga diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan dipergunakan selama ratusan tahun sebagai ‘buku wajib’ di Eropa.

Disamping itu juga muncul ilmuwan Islam dalam bidang astronomi dan aljabar, sebut saja Alfaraganus (Abu Abbas al-Farghani) dan Albattegnius (Muhammad bin Jabir al-Battani). Ada juga Umar Khayyam, yang menurut Hitti kalender hasil karyanya lebih tepat di banding kalender Gregorius. Teori Heliosentris ternyata juga sudah lama dikemukakan oleh al-Biruni jauh sebelum Copernicus dan Galileo. Dalam matematika, nama Muhammad Ibn Musa al Khawarizmi sangat Masyhur. Dalam optika dikenal nama Abu Ali Hasan bin al-Haytsam dengan magnum opusnya al-Manazib yang didalamnya ia menentang Teori Euclid. ia berpendapat bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan bukan sebaliknya. Dari proses pengiriman cahaya itulah timbul gambaran benda dalam mata. Dalam bidang geografi ada al-Mas’udi pengarang buku Muruj al-dzahab dan Ma’adin al-Jawhar, konon ia juga pernah singgah di kepulauan Indonesia disaat menjelajah dunia. Disamping al-Mas’udi ada Ibnu Batutah dengan buku Rihlah Ibn Batutah.

Dalam ilmu pengetahuan alam, ulama-ulama Islam mewariskan berbagai macam buku dari ilmu hewan, tumbuh-tumbuhan hingga geologi, bahkan, menurut Hitti, al-Jahiz dalam buku Kitab al-Hayawan berbicara tentang Evolusi dan Antropologi. Dan masih berderet nama-nama serta penemuan yang telah dihasilkan oleh ulama Islam terdahulu. Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa ilmu pengetahuan yang menghasilkan teori-teori ilmiah yang diajukan oleh ilmuwan Islam itu tidak mendapat tantangan dari para ulama. Ilmu dan agama berdampingan dengan begitu harmonis dan damai selama lima abad. Yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam bukanlah pertentangan ilmu dan agama, melainkan pertentangan antar madzhab. Mihnah (inkuisisi) pernah dilaksanakan kaum mu’tazilah terhadap golongan yang tidak sependapat dengannya mengenai penciptaan al-qur’an. Rakyat dipaksa untuk menganut faham mu’tazilah. Demikian juga pengkafiran yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali terhadap para filosof muslim bukanlah pada persoalan ilmiah akan tetapi keyakinan mereka tentang kekekalan alam dan tidak adanya kebangkitan jasmani.

C. Islam dan Kebangkitan Barat

Ketika peradaban Islam mulai mundur, diikuti dengan cara pandang umatnya yang sempit, Eropa beramai-ramai menerjemahkan karya-karya ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin dan mengkajinya. Bersamaan dengan itu di Eropa berkembang pemikiran-pemikiran filosof Islam terutama Ibnu Rusyd, yang menyatakan bahwa agama samasekali tidak bertentangan dengan filsafat, ajaran agama dan inti filsafat sejalan. Berkembanglah kemudian di Eropa Averroisme dalam sejarah pemikirannya (meskipun Barat salah dalam memahami Ibn Rusyd; Pemikiran Ibn Rusyd membawa balancing antara agama dan filsafat, di Eropa averroisme membawa kepada double truth (kebenaran ganda); kebenaran yang dibawa oleh agama adalah benar demikian juga kebenaran ilmiah dan filsafat).

Tonggak awal kebangkitan Eropa yang dinamakan dengan Renaissance, sedikit banyak lahir atas pengaruh averroisme (ar rusydiyyah) dan atas pengaruh penerjemahan karya-karya ilmiah ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin. Menurut Harun Nasution, pemindahan ilmu pengetahuan yang berkembang dalam Islam ke Eropa pada abad ketiga belas dan seterusnya paling tidak melalui beberapa jalur

Pertama, jalur Andalus dengan Universitas-Universitas handal yang dikunjungi oleh kaum terpelajar Eropa.

Kedua, Sisilia, yang pernah dikuasai umat Islam dari tahun 831 hingga 1091. Di pulau ini ilmu pengetahuan serta penemuan ilmiah para ilmuwan Islam meningkat dengan pesat. Bahkan setelah jatuhnya Sisilia ditangan kaum Norman yang dipimpin oleh Roger, pengaruh peradaban Islam masih sangat terasa disana. Mereka dikelilingi oleh para filosof dan ilmuwan muslim.

Pengaruh pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan dalam perkembangan Barat diakui oleh ilmuwan Barat sendiri seperti Gustav Le Bon, Henry Trece, anthony Nutting, C. Rsiler, Alferd Guillame, Rom Landau dan yang lainnya. Disamping pengakuan penulis-penulis Barat yang objektif terhadap pengaruh peradaban Islam terhadap lahirnya Renaissance dan peradaban Barat modern, beberapa penulis Barat juga mengakui pengaruh pemakaian akal dalam Islam terhadap kebebasan berpikir di Eropa dari belenggu agama (baca: Kristen).

D. Penutup

Dari uraian ringkas diatas, sangatlah jelas kiranya bahwa kedudukan akal tinggi sekali dalam al-quran, pun para ulama setuju dengan kegiatan keilmuan dan penelitian, pertentangan yang ada bukanlah pertentangan antara agama vis a vis akal, melainkan pertentangan keyakinan antar madzhab, namun demikian bukan berarti akal adalah segala-galanya, karena akal bukanlah yang mengatur kita, ia hanya melayani, ajaran Islamlah yang harus menjadi guidance dalam upaya balancing antara agama dan akal. Tulisan ini bukan bermaksud untuk berapologi ria, melainkan peringatan kepada kita agar melihat dan meneladani sikap para ulama Islam klasik, untuk diambil sebagai uswatun hasanah. Umat Islam di era globalisasi dan teknologi ini, menurut Syamsudin Arif, dalam melihat sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti Barat dan anti ilmu pengetahuan dengan dalil bid’ah, ada yang menelan begitu saja tanpa sikap kritis-objektif, dan ada juga yang menerima dengan waspada, dalam artian tidak menelan mentah begitu saja tanpa telaah ulang dan proses pematangan (baca:Islamisasi). Sikap yang pertama dan kedua kurang tepat untuk diterapakaan karena keduanya sama-sama ekstrim dan radikal. Sikap yang bijak dan dewasa adalah bersikap adil, selalu menghargai namun mampu untuk meletakkannya pada porsi yang tepat. Disini umat Islam dituntut untuk jeli dalam memilah dan memilihnya. Umat Islam akan bisa meraih kembali kejayaan jika mau belajar dari sejarah, entah itu dari warisan klasik ulama Islam terdahulu ataupun pemikiran Barat modern sehingga tidak lagi terjerumus berkali-kali kedalam “lubang kegelapan” yang sama.(albi)

PENYAIR,PEMIKIR DAN ARSITEK NEGARA PAKISTAN (SIR.MUHAMMAD IQBAL)

Riwayat Hidup.

Muhammad Iqbal adalah orang yang menciptakan puisi itu yang lahir pada tahun 1873 di Sialkot, suatu kota tua bersejarah diperbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Ia datang dari keluarga miskin tetapi dengan bantuan beasiswa yang diperoleh di sekolah menengah dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus.

Pendidikan dasar ia tempuh di kota kelahirannya dan masuk Government College (sekolah tinggi pemerintah) Lahore. Ia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold yang meninggalkan Aligarh dan pindah bekerja di Government College Lahore. Iqbal lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta dua mendali emas karena baiknya bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ia akhirnya memperoleh gelar M. A dalam filsafat pada tahun 1899. dan ia meninggal dunia pada 18 maret 1938.

Masa Penyair

Pada tahun 1901 Sir Abdul Qodir mulai menerbitkan majalah Urdhu Makhzan yang memberikan tempat berpijak sastra bagi banyak penulis berbakat yang sedang tumbuh.

Pena Iqbal sangat sibuk pada waktu itu dan ia menulis banyak syair mengenai berbagai macam masalah. Sayang sekali Iqbal menghilangkan banyak bait dari syair-syairnya yag ditulis pada waktu itu, dalam koleksi syairnya terakhir yang diterbitkan pada waktu ia hampir berumur 45 tahun.

Syair pada periode itu tampaknya jatuh pada tiga kategori; pertama adalah tentang yang berhubungan dengan alam, kedua Iqbal sebagai seorang sufi dan panteis sejati, dan ketiga Iqbal sebagai kampiun nasionalis India yang baru bangkit. Salah satu syairnya yang panjang ialah Taswir-i-Dart (gambaran kesusahan). Juga terdapat banyak syair dalam periode tersebut yang , melahirkan sentimen-sentimen patriotic dan nasionalistik dan yang paling masyhur syairnya adalah Tarana-i-Hudi (lagu kebangsaan India) pada waktu itulah periode pertama syair Iqbal berakhir pada tahun 1905.

Periode kedua sewaktu ia pergi meneruskan pelajaran di Eropa ia menulis beberapa lirik yang indah dalam bentuknya yang lama pada waktu ia belajar di Inggris dan Jerman, tetapi sikapnya terhadap banyak hal mengalami perubahan besar.

Syair pertamanya bahwa ia menunjukkan perubahan sikap terjadi pada bulan maret 1907 sewaktu ia menulis ghazal yang sangat masyhur:

Waktu keterbukaan telah tiba

Yang tercinta akan dapat terlihat oleh semua.

Rahasia yang tertutup oleh keheningan sekarang ini

Akan tampak nyata.

Sekembalinya dari Eropa, perubahan spiritual dan ideologis Iqbal makin mendalam yang menarik dari periode ini yang menggambarkan perubahan Iqbal dari nasionalis India kepada kampiun kebangsaan muslim. Salah satu ekspresi yang sangat penting dari perubahan sifat Iqbal adalah ”Islamic Anthem” (lagu kebangsaan Islam) yang disusunnya. Iqbal juga merupakan penyambung lidah umat muslim dengan pedih mengadu kepada Tuhan bahwa sekalipun diantara manusia di dunia, umat Muslim telah berbuat paling banyak untuk meningkatkan penyembahan kepada Tuhan yang maha esa namun mereka ditimpa takdir dengan segala macam malapetaka:

“ada bangsa-bangsa di samping kita ; ada orang-orang yang berbuat dosa diantara mereka juga,

Rakyat yang sederhana dan mereka yang mabuk dengan kebanggaan, kesombongan, masa bodoh dan licik.

Ratusan orang ada di sana yang menghina nama-Mu,

Tetapi rahmat-Mu turun di tempat-tempat tinggal mereka.

Dan tidak ada kecuali kilat yang menyambar kita

Kemudian ia juga menulis mengenai pendidikan modern:

“Anggur yang baru ini akan makin melemahkan pikiran:

Cahaya yang baru ini hanya akan makin menebalkan kegelapan.”

Periode ketiga sejak tahun 1907 Iqbal menganjurkan solidaritas dan persaudaraan muslim. Namun demikian itu tidak menyebabkan konflik dengan sesama rakyat senegerinya. Dan kenyataannya kaum nasionalis Hindu telah mendukung satu bentuk Pan Islam yang memudahkan pembentukan front bersama melawan Inggris. Pada 1921 peraturan seperti Dyarchy diperkenalkan di propinsi-propinsi, dan Punjab memperoleh dua orang menteri yang cakap, yaitu Sir Fazli Husaen dan Lala Hartishan Lal. Pada waktu itu umat Muslim merupakan mayoritas yang jelas di Punjab.

Wilayah Pemikirannya

Dari beberapa syair Iqbal yang dipelajari oleh penulis, diketahui bahwa pemikiran Iqbal tidak hanya sebatas pemikiran keagamaan, tetapi juga merambah keberbagai wilayah, seperti budaya, sosial dan politik.

Pada wilayah budaya dan peradaban Mahmud berpendapat bahwa, peradaban Barat bukanlah merupakan peradaban yang ideal ia hanyalah merupakan kemajuan material. Peradaban Barat Menurutnya bagai dua mata sisi mata uang. Satu sisi menampakkan kebaikan dan sisi yang lain menunjukkan keburukan. Sisi ditunjukkan dengan kemampuannya dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang menghasilkan kemajuan material dan sisi buruknya adalah kegagalan mewujudkan perdamaian. Sebagaimana ungkapan puisinya:

Aduhai penduduk Barat, bumi Allah ini bukanlah warung

Dan emas kencana yang kau sayangkan kemilau itu

Tidaklah akan bernilai

Kebudayaanmu akan membunuh diri senidiri

Oleh kerja tanganmu

Dan sangkar yang kau letakkan di dahan rapuh

Akan jatuh terkulai

Pada wilayah sosial dan politik Iqbal bersikap tidak begitu saja menerima apa yang datang dari Barat, walaupun ia tidak anti barat bahkan ia dalam banyak hal sangat responsip terhadap kemajuan Barat. Ia mengkritik kapitalisme dan sosialisme yang di sana sini terdapat kekurangan.

Aku akan membawa pemberian darimu ke India,

Dan menjadikan orang lain menangis seperti aku sekarang ini.

Muhammad Iqbal, penyair, pujangga dan filosof besar abad ke-20, dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 Nopember 1877.

Dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat seorang pemikir, pujangga, pembaharu Islam Iqbal yang bukan saja berpengaruh di negerinya Pakistan tapi juga di Indonesia sendiri. Disini penulis menitik beratkan pada pemikirannya di bidang hukum Islam walaupun disinggung sedikit tentang perannya dibidang perpolitikan.

Di dalam kehidupannya Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi lewat tarian penanyalah yang menghempaskan bangunan unionist dan meratakan jalan untuk berdirinya Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia mengkritik sebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang didalam kejumudan.

Latar Belakang

Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang telah memluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat.

Pada usia sekolah, Iqbal belajar Al Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hapal ayat-ayat Al Qur’an yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan keislamannya.

Selanjutnya di meneruskan ke Scottish Mission School, Sialkot. Disini dia bertemu guru ternama sekaligus teman karib ayahnya, Sayid Mir Hasan. Pengaruh Mir Hasan ini sangat kuat pada dirinya ini dibuktikannya dengan menolak pemberian gelar Sir oleh pemerintah inggris pada tahun 1922, sebelum gurunya mendapat gelar kehormatan pula, yaitu Syams al- ‘Ulama.

Dalam sebuah sajaknya Iqbal mengakuinya :

Cahaya dari keluarga Ali yang penuh berkah

Pintu gerbangnya dibersihkan senatiasa

Bagiku bagaikan Ka’bah

Nafasnya menumbuhkan tunas keinginanku, penuh gairah hingga menjadi kuntum bunga yang merekah indah

Daya kritis tumbuh dalam diriku oleh cahayanya yang ramah .

Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore. Disini ia melanjutkan studi Government College gurunya adalah - Sir Thomas Arnold. Disini dia mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab karena kejeniusannya pula dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold. Arnoldlah yang mendorongnya agar -melanjutkan pendidikannya ke Inggris karena melihat kejeniusan Iqbal. Setelah selesai di Government College Iqbal belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual Iqbal dimulai.

Iqbal memilih melanjutkan di Cambridge University, Inggris, ia belajar filsafat dengan Mc. Taggart, kemudian mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich, Jerman dan lulus pada tahun1908 dengan disertasi berjudul The development of Methapysics of Persia. Didalam disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam ajaran tasawwuf dengan mengatakan tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam ajaran Islam yang murni. Iqbal melihat ada nilai-nilai baik yang transendental yang tak dimiliki oleh Eropa. Barat, menurut Iqbal, kehilangan semangat spritual dan terlalu menumpukan pada rasio dalam menjawab setiap problematika.”Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi ia yakin Islam lebih baik. Dia kembali dari Eropa sebagai Pan-Islamis bahkan bisa dikatakan sebagai puritan. Perubahan spritual dan ideologis Iqbal makin dalam dari nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa yakin bahwa antara Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara terpisah dan tindakannya sendiri sudah jelas.

Hijrah ke Pakistan

Iqbal kembali pada tahun 1908. Dia berprofesi sebagai pengacara, guru besar di Universitas dan penyair sekaligus. Namun dia meninggalkan profesinya dan menjadi penyair sejati. Ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Di masa Pakistan inilah bukunya banyak dihasilkan.

1. Karya yang berbahasa Persia Asrar-i- Khindi, Rumuz-i-Berkhudi, Payam-i-Masriq, Zaburi-i- Ajam, Jawid Namah, Pasceh Baid Aye Aqwam-i-Syarq dan Lala-i-Thur.

2. Yang berbahasa Urdu : Ilmu Al-Iqtisad (ilmu ekonomi), Bang-i-Dara, Bal-i- Jibril, Zarb-i-Kalim, Arughan-i-Hijaz, Iblis ki Majlis-i-Syura, Iqbal Namas, Makatib Iqbal, dan Bagiyat-i-Iqbal.

3. Yang berbahasa Inggris : Develoment of Methaphysies in Persia : A Contribution to the history of Moslem, Philoshopy (perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam) dan the Reconstroction of Religius Thought in Islam (pengembangan kembali alam pikiran Islam).

Pergeseran pemikiran Iqbal ini lebih memprlihatkan bentuknya dalam karyanya Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Buku ini kumpulan dari enam ceramahnya di Madras, Hyderabad dan Aligarh. Edisi pertama buku ini terbit di Lahore pada 1930, berjudul Six Lecturer on the Reconsturction of Religious Thought in Islam. Pada edisi berikutnya disederhanakan menjadi - The Reconstruction of Religious Thought in Islam disini dia telah mencapai posisinya sebagai pemikir liberal yang telah mencapai kematangan intelektual. Dia mengecam terhadap filsafat Yunani, terutama Plato, sebagai penyebab mundurnya ummat Islam.

Pemikiran Iqbal Hukum Islam

a. Al qur'an

Sebagai seorang Islam yang di didik dengan cara kesufian, Iqbal percaya kalau al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun demikian dia menyatakan bahwa bukanlah al – Qur’an itu suatu undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al Qur’an adalah - membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Qaur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah dituntut pengembangannya.Ini didalam rumusan fiqh dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al – Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al – Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “ Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.

Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al Qur’an, namun dia melihat ada dimensi-dimensi didalam al Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurutnya para mullah dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya. Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh ketidakmampuan umat Islam India dalam mamahami - al -Qur’an disebabkan ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan - al-Qur’an. Dia begitu terobsesi untuk menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi legalita dan kehidupan duniawi. Sedangkan Kristen gagal dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi, karena lebih mementingkan segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam kegagalan kedua agama tersebut al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan kehidupan individual dan sosial ;ritual dan moral. Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali, inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.

Pandangan Iqbal tentang kehidupan yang equilbirium antara moral dan agama ; etik dan politik ; ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak keruntuhan dan kehancuran Bagdad, 1258. sehingga masyarakat Islam tidak mampu lagi menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam - (al-Qur’an).

Akhirnya walaupun tidak ditegaskan kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi, akibatnya, hukum pun menjadi statis dan al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap problematika.

Inilah yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.

Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan.

b. Al Hadits

Sejak dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.

Kalangan orientalis yang pertama kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz Goldziher. Menurutnya sejak masa awal Islam dam masa-masa berikutnya , mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya hingga menjadi berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist.

Iqbal setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi belaka.

Oleh karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al – Qur’an.

Pandangan Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.

c. Ijtihad

Katanya “exert with a view to form an independent judgement on legal question”, (barsungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu :

1. Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja.

2. Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.

3. Otoritas Khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzdab.

Namun Iqbal lebih memberi perhatian pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl- al- sunnah, tetapi dalam kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum al Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.

Akibat ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor :

1. Gerakan rasionalisme yang liar, dituduh sebagai penyebab disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian al – Qur’an.Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab. Dan sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam. Disamping itu, perkembangan ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis. Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya.

2. Setelah Islam menjadi lemah penderitaan terus berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat peradaban Islam diserang dan diporak-porandakan tentara mongol pimpinan Hulagu Khan.

3. Sejak itulah lalu timbul disintegrasi. Karena takut disintegrasi itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk menyeragamkan pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan bid’ah-bid’ah dam menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah keadaan dalam dunia Islam.

Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali ijtihad-ijma’ dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan umum. Bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran spekulatif subjektif yang bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.

Oleh karenanya Iqbal memandang perlu mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk paling tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam.

Telaah Kritis pemikirannya

Dari pemikiran-pemikiran Iqbal diatas tadi, sudah saatnya kita bergerak dan tidak terpaku dengan keadaan sekarang didalam kejumudan. Kita ingin umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.

Dan jangan sampai kebebasan yang ada disalah gunakan untuk kepentingan sendiri dan golongan dengan mengatas namakan hukum agama. Kita sekarang memang sedang krisis ketauladanan. Yang ada hanya pembodohan umat dimana-mana. Hukum dibuat bagai mainan. Bahkan yang lebih parah lagi kalau sudah seorang ulama memperalat masyarakat Islam hanya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga.

Penutup

Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan radikal.

Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini?. Dengan tepat Iqbal menjawab, “bisa, kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir ‘Umar Ibn Al Khathtab”.

Muhammad Iqbal. Drs., “Rekonstruksi Pemikran Islam”, Kalam Mulia, 1994, hal. 1

Ibid, hal. 126

Ali. H. M., “ Alam Pemikiran Islam di India dan Paskistan”, Mizan, Bandung 1993. hal. 173

Muhammad Iqbal. Drs, op.cit, hal. 44

Ibid., hal. 46

Loc. cit

H.M Mukti Ali, Op. Cit., hal. 174

Muhammad Iqbal. Drs, Op.cit,, hal. 47

Ihsan Ali Fauzi dan Nurul Agustina, Op. Cit., hal. 143

Muhammad Iqbal. Drs., Op., Cit., hal. 49

Muhammad Iqbal. Drs, op.cit,, hal. 51

Harun Nasution, “Pembaharuan dalam Islam”, Bulan bintang, Jakarta, 1987, Cet. Ke-05 hal. 191

Departemen Pendidikan Nasional.,”Ensiklopedi Islam”,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002

Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 59

Ibid., hal. 44

Ibid., hal. 67

Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 68 – 69

Ibid., hal. 69 – 73

Ibid., hal. 74 – 75

Ibid., hal. 76-84

Harun Nasution, Op. cit hal. 191

Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal.84 – 92

PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI

A. Pendahuluan

Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.

Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1]

B. Biografi

Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2]

Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3]

Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.[4]

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[5]

Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.

Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.

Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.

K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.

Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6]

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.

Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.

K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.[7]

C. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan

Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[8]

Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.

Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.

Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.

Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.

Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9]

Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.[10]

Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.[11]

Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.[12]

Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[13]

Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.

Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.[14]

Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.[15]

Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.

Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.

Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.

Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.

Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.

Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.

Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.

Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.

kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.

kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.

Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.

Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.

Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.

ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.

Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul.

Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.

Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah,

ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.

Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.

Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.

Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.

Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.

Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.[16]

D. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Sosial

Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[17]

Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).[18]

KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar.

Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[19]

Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.

Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).[20]

E. Karya K. H. Hasyim Asy’ari

Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.

Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.

Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.[21]

Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.

Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[22]

F. Telaah Kritis Pemikirannya

Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat.

G. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).

Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.

Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.


[1]. A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004 h. 319

[2]. Ibid, h. 319

[3]. httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm

[4]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[5]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[6]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 319-320

[7]. Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993. h. 138-139

[8]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[9]. httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan-dan.html

[10]. Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 309

[11]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[12]. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005). h. 218

[13]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[14]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[15]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[16]. httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurut-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm

[17]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[18]. Ensiklopedia Islam, Op Cit. h. 309

[19]. Nuril M Nasir Alumnus Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm

[20]. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Cet IV. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). h. 102

[21]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[22]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 321

PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN

a. Pendahuluan

Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan eorak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

b. Riwayat Hidup Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir.
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu.
Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.
Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah b. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.
Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.

c.Pemikiran Ahmad Dahlan

1. Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun ­tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.

2. Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat ­laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.

3. Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat te­robosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per­kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggo­ta-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor­-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berha­rap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pe­lajaran dan cara mengajar agama yang di­berikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ah­mad Dahlan membuka sendiri sekolah se­cara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersi­fat permanen.

4. Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.

Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.

Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini.
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

d.Telaah Kritis Pemikirannya
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

e.Kesimpulan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per­kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah.

DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Islam Indonesia. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2000).

Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2001).

Mujib, A, dkk. Intelektualisme Pesantren. (Diva Pustaka. Jakarta. 2003).

Wikipedia Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. (Mizan. Jakarta. 2002).

Menilai Tingkat Kesehatan BMT Dari Aspek Manajemen

Pendahuluan

BMT merupakan salah satu model lembaga keuangan syariah yang paling sederhana yang saat ini banyak muncul dan tenggelam di Indonesia. Sayangnya, gairah munculnya begitu banyak BMT di Indonesia tidak didukung oleh faktor-faktor pendukung yang memungkinkan BMT untuk terus berkembang dan berjalan dengan baik. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan banyaknya BMT yang tenggelam dan bubar yang disebabkan oleh berbagai macam hal antara lain: manajemennya yang amburadul, pengelola yang tidak amanah dan profesional, tidak dipercaya masyarakat, kesulitan modal dll. Akibatnya, citra yang timbul di masyarakat sangat jelek. BMT identik dengan jelek, tidak dapat dipercaya, dan sebagainya.

Suatu BMT tetap harus memenuhi kriteria-kriteria layaknya sebuah bank syariah besar dengan beribu-ribu nasabahnya. Salah satu alasan yang sederhana adalah sebuah lembaga yang mengelola uang masyarakat, tentunya harus kredibel, dapat dipercaya oleh masyarakat. Siapapun pasti ingin dirinya diyakinkan bahwa uang yang dia simpan di suatu BMT aman dari resiko apapun dan setiap saat dapat mengambil uangnya kembali.

Tulisan berikut hanya menggambarkan sebagian kriteria-kriteria untuk menilai apakah suatu BMT mempunyai status baik atau tidak, namun dirasa cukup untuk dijadikan indikator.

Tingkat Kesehatan BMT

Tingkat kesehatan BMT merupakan suatu kondisi yang terlihat sebagai gambaran kinerja dan kualitas BMT, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor dan dapat mempengaruhi aktivitas BMT serta pencapaian target-target BMT, untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Penilaian tingkat kesehatan BMT sangat bermanfaaat untuk memberikan gambaran mengenai kondisi aktual BMT kepada pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bagi nasabah dan pengelola. selain itu, dengan mengetahui tingkat kesehatannya akan membantu pihak-pihak tertentu dalam pengambilan keputusan sehingga terhindar dari kesalahan pengambilan keputusan.

Beberapa faktor baik internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung tingkat kesehatan BMT, yaitu:
1. faktor SDM, kondisi BMT sangat dipengaruhi oleh kemampuan SDM dalam mengelola BMT
2. faktor sumber daya, termasuk didalamnya adalah dana dan fasilitas kerja

Dalam melakukan penilaian terhadap BMT terdapat 5 aspek yang menjadi acuan dasar penilaian. Dasar penilaian ini mengacu pada sistem penilaian kesehatan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) yang dikenal dengan istilah CAMEL (Capital adequacy, Asset quality, Management of risk, Earning ability, dan Liquidity sufficiency). Kelima aspek tersebut adalah modal, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas.

Penilaian Aspek Manajemen BMT

Penilaian kuantitatif terhadap manajemen meliputi beberapa komponen, yaitu manajemen permodalan, kualitas aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas. Sedangkan perhitungan nilai kredit didasarkan pada hasil penilaian jawaban (jumlah nilai positif) dari pertanyaan mengenai manajemen BMT yang secara keseluruhan berjumlah 60 pertanyaan. Berikut pertanyaan-pertanyaan tersebut:

Permodalan
1. Memiliki ketentuan tertulis mengenai penetapan besarnya simpanan pokok, simpanan wajib, pemupukan modal dari cadangan laba serta tatacara pelaksanaannya (P/N)
2. Memiliki ketentuan mengenai perlakuan terhadap inventaris, investasi dan harta lembaga lainnya berkenaan dengan alokasi modal (P/N)
3. Memiliki ketentuan mengenai tingkat kelancaran pembiayaan (aturan kolektibilitas) (P/N)
4. Memiliki aturan tertulis mengenai Cadangan Penghapusan Piutang (CPP) (P/N)
5. Memiliki kebijakan untuk menyisihkan sebagian labanya untuk memperkuat permodalan (P/N)
6. Tingkat pertumbuhan laba ditahan sama atau lebih besar dari tingkat pertumbuhan asset (P/N)
7. Tingkat pertumbuhan modal BMT sama atau lebih besar dari tingkat pertumbuhan asset (P/N)
8. BMT memiliki aturan yang mengatur mengenai penghapusbukuan pinjaman yang macet (P/N)
9. BMT senantiasa memantau kondisi finansial yang berkaitan langsung dengan kecukupan modal BMT (P/N)
10. BMT memiliki aturan tertulis mengenai aturan modal hibah, modal penyertaan serta alokasinya (P/N)

Kualitas Asset
11. BMT memiliki kebijakan/aturan tertulis mengenai pinjaman kepada pihak internal (pengelola, pengurus, pemeriksa dan dewan syariah) (P/N)
12. BMT memiliki prosedur pembiayaan tertulis mulai dari proses permohonan, pencairan pinjaman, pengadministrasian dan pengawasannya (P/N)
13. BMT memiliki sistem dan prosedur tertulis mengenai penetapan penilaian dan pengikatan agunan (P/N)
14. BMT memiliki strategi tertentu yang tertulis dalam menangani pembiayaan bermasalah (P/N)
15. BMT senantiasa memantau konsistensi dan mematuhi penggunaan/prosedur pembiayaan (P/N)
16. BMT tidak melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) (P/N)
17. BMT tidak memperkenankan penetapan persyaratan yang lebih ringan untuk fasilitas pembiayaan kepada pihak internal (P/N)
18. Trend pinjaman bermasalah BMT membaik 6 bulan terakhir (P/N)
19. BMT mengadministrasikan agunan dengan baik dan aman (P/N)

Manajemen/Pengelolaan
20. Dalam pelaksanaannya BMT konsisten dengan sistem syariah (P/N)
21. BMT memiliki kebijaksanaan umum tertulis yang mencakup kegiatan utamanya (simpan pinjam) (P/N)
22. BMT memiliki rencana anggaran (proyeksi finansial) minimal untuk 1 tahun yang mencakup: penghimpunan dana masyarakat, target lending (pemberian pinjaman), pendanaan, pendapatan (P/N)
23. BMT memiliki perencanaan mengenai pengembangan/peningkatan kualitas SDM (P/N)
24. BMT senantiasa mengadakan perencanaan mingguan dan bulanan (P/N)
25. BMT senantiasa melakukan evaluasi terhadap capaian target dari perencanaan (P/N)
26. BMT secara reguler mengadakan rapat manajemen, operasional dan marketing (P/N)
27. BMT memiliki brankas untuk menyimpan uang dan jaminan (P/N)
28. BMT memiliki kantor yang terpisah dengan pihak lain (P/N)
29. Hasil seluruh rapat manajemen/operasional/marketing selalu dibuat notulen tertulis dan diadministrasikan dengan baik (P/N)
30. BMT memiliki struktur organisasi dan job description tertulis dan diketahui dan dilaksanakan oleh seluruh pengelola BMT (P/N)
31. BMT memiliki peraturan kekaryawanan (P/N)
32. BMT memiliki peraturan yang menjamin keamanan operasional BMT (P/N)
33. Frekuensi rapat pengurus minimal 1 kali dalam 1 bulan (P/N)
34. BMT memiliki jumlah pengelola yang purna waktu diatas 4 orang (P/N)
35. BMT memiliki sisdur simpan dan pinjam yang tertulis dan disahkan (P/N)
36. BMT memiliki kebijakan mengenai pengeluaran uang yang tertulis dan disahkan (P/N)
37. BMT memiliki sistem dan kebijakan akuntansi yang tertulis dan disahkan (P/N)
38. Gaji staff di BMT 1,5 kali UMR (P/N)
39. Gaji kepala bagian di BMT 2 kali UMR (P/N)
40. Gaji manajer di BMT 3 kali UMR (P/N)

Rentabilitas
41. BMT mempunyai kebijakan untuk membatasi/meniadakan pinjaman untuk usaha baru (P/N)
42. Dalam pemberian pinjaman BMT lebih mengutamakan kemampuan bayar daripada tersedianya agunan (P/N)
43. BMT menghindari pemberian pinjaman yang bersifat spekulatif/usaha yang belum dikuasai dan dipahami oleh BMT yang menghasilkan keuntungan tinggi tetapi beresiko tinggi (P/N)
44. Rencana kerja BMT memuat adanya upaya-upaya dalam mengusahakan sumber dana murah (P/N)
45. ROA (return on asset) BMT minimal 2,5 % atau cenderung meningkat dalam 6 bulan terakhir (P/N)
46. ROE (return on equity) BMT minimal 2,5 % atau cenderung meningkat dalam 6 bulan terakhir (P/N)
47. Tingkat pertumbuhan laba BMT sama atau lebih besar dari pertumbuhan asset (P/N)
48. Realisasi biaya operasional antara proyeksi anggaran dan realisasi anggaran tidak melebihi 15 % (P/N)
49. BMT memiliki ketentuan bahwa semua pengeluaran/biaya harus didukung dengan bukti-bukti yang valid (P/N)

Likuiditas
50. BMT memiliki kebijaksanaan tertulis yang menyangkut pengendalian likuiditas (P/N)
51. BMT memiliki kebijaksanaan/strategi khusus dalam mencari dan mempertahankan mitra- mitra funding potensial (P/N)
52. BMT merencanakan LDR dalam batas-batas yang sehat (P/N)
53. BMT memiliki asset yang likuid guna menjamin likuiditas (P/N)
54. BMT memiliki kredibilitas yang baik antar BMT sehingga memungkinkan sewaktu-waktu mendapat pinjaman dana guna menutupi kebutuhan likuiditasnya (P/N)
55. BMT pada umumnya dapat mempertahankan mitra pemilik dana yang relatif besar pada satu tahun terakhir (P/N)
56. BMT memiliki kebijakan dalam mengatur hubungan antara jumlah pinjaman yang akan diterima dari lembaga lain untuk menjaga likuiditasnya (P/N)
57. BMT memiliki kebijakan yang mengatur hubungan antara jumlah pinjaman yang diberikan dengan jumlah dana masyarakat (P/N)
58. Memiliki pedoman administrasi yang efektif untuk memantau kewajiban yang jatuh tempo (P/N)
59. Memiliki sistem informasi manajemen yang memadai untuk memantau keadaan likuiditas (P/N)

Kriteria Penilaian
Hitung jawaban-jawaban positif (P) anda, dan cocokkan dengan skala penilaian dibawah ini:
Kurang dari 20 (Sangat Kurang)
20 s/d < 30 (Kurang)
30 s/d < 40 (Lumayan)
40 s/d < 50 (Baik)
50 s/d 60 (sangat baik)