Kemuliaan bukanlah dari pujian manusia dan kehinaan bukan pula dari cemoohan manusia AKAN TETAPI MANAKALA WAJAHMU YA ALLOH BERPALING TIDAKNYA DARI HATI KITA
Rabu, 29 April 2009
DIMENSI JIWA MANUSIA
Sang ayah memerintahkan si kakak agar menikah dengan saudari kembar adiknya, sementara adiknya dijodohkan dengan saudari kembarnya. Pada titik ini nafsu buruk mulai mencuat dan berperan. Tidak seperti adiknya, si kakak menolak perintah, lantaran pilihan sang ayah tak cocok dengan harapannya. Kemudian sang ayah memerintahkan keduanya untuk berkorban. Si kakak yang petani menyiapkan hasil tanamannya yang jelek . sebaliknya adiknya yang peternak memilih yang terbaik diantara hewan peliharaanya. Tentu saja kurban yang baik secara kualitas dan kuantitaslah yang diterima Allah. Rasa iripun menguasai si kakak, lantas ia mengancam untuk membunuhnya adiknya. Lantaran rasa takutnya kepada Allah, adiknya tak mau meladeni dan membalas ancaman tersebut meskipun ia lebih perkasa. Akhirnya, tumpahlah darah manusia untuk pertama kalinya. Dibunuhlah sang adiknya, sekalipun setelah itu sang kakak merasakan penyesalan yang amat dalam.
Itulah episode Qobil dan Habil, putera manusia dan Nabi Pertama , Adam as. Qobil dan habil kini telah tiada dan tak mungkin hidup kembali. Akan tetapi dua karakter manusia yang berbeda dan paradoksal itu akan tetap eksis dan hidup pada diri anak cucu keturunan Adam as.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam dua dimensi jiwa. Ia memiliki karakter , potensi, orientasi dan kecenderungan yang sama untuk mlakukan hal-hal positif dan negatif. Inilah salah satu ciri spesifik manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya. Sehingga manusia dikatakan sebagai makhluk alternatif, artinya ia bisa menjadi baik dan tinggi derajatnya di hadapan Allah. Sebaliknya, ia pun bisa menjadi jahat dan jatuh terperosok pada posisi yang rendah dan buruk. Ia bisa bagai hewan, bahkan lebih jelek lagi. Dalam kaitan ini, manusia dbierikan oleh Allah kekuatan ikhtiar atau usaha untuk bebas menggunakan potensi positif dan negatifnya. Namun ia tak boleh melupakan, bahwa semua pilihan dan tindakannya akan dipertanggung jawabkan di hadapan pengadilan tinggi Allah Yang Maha Adil, kelak di akhirat. Lantaran itu, bukanlah pada tempatnya manakala manusia menjadikan takdir sebagai alasan dan kambing hitam bila ia melakukan perbuatan negatif, dengan mengatakan bahwa segala sesuatunya telah ditakdirkan Allah SWT. Seakan manusia itu wayang yang tak biasa berperan kecuali bila diperankan sang dalang. Padahal Allah tak akan merubah keadaan suatu kaum kalau mereka tidak berusaha merubahnya.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS Ar-Ra’d: 11)
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seorang pencuri, yang diajukan kepada Umar bin Khattab ra., mengatakan bahwa dirinya melakukan pencurian karena sudah ditakdirkan Allah. Lalu dengan tangkas Umar bin Khattab menjawab bahwa bila tangannya dipotong , juga merupakan takdir Allah. Namun di pihak lain, Allah pun tak biasa dipersamakan dengan pembuat arloji. Setelah arloji itu dibikin dan dilempar ke pasar maka ia tak tahu lagi bagaimana nasib arloji tersebut, apakah masih berputar atau sudah mati. Allah senantiasa memonitor dan mengontrol makhluk-Nya.
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS Al-Baqarah: 255)
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurusi (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur” (QS. 2:255).
Dua dimensi jiwa manusia senantiasa saling menyaingi, mempengaruhi dan berperang. Kemungkinan jiwa positif manusia menguasai dirinya selalu terbuka, seperti yang dialami Habil. Dan jiwa negatifpun tak tertutup kemungkinan untuk mengontrol diri manusia, seperti yang terjadi pada Qobil. Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup di masa Rasulullah SAW. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain. Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah SAW dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan senyuman dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah. Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah SAW, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhrinya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan. Disinilah betapa besar peranan lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga kawan, tetangga, guru kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
Islam , sebagai Din yang haq, memberikan tuntunan ke pada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiarnya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan , tazkiyah atau pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya. Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamnnya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah jiwa. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah SWT. Sebaliknya , apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah SWT.
“Dan demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mesucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya”(QS. 91:7-10).
Dua suasana jiwa yang berbeda itu akan tampak refleksinya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun dirinya. Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan.adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah. Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan Din. Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa , kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia ebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
“Jalan menuju surga di rintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu”, demikian sabda Rasulullah SAW.
Tazkiyah jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam era informatika dan globalisasi dalam kemaksiatan dan dosa. Dimana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Mansusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip (ad – dkaruriyat al khams); Din , jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah SWT, Pencipta alam semesta dan segala isinya. Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia.maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup. Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad SAW:
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan Din-nya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan Din-nya. Sehingga mereka merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya. Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.99:27-30)
Selasa, 28 April 2009
HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN
Pengantar
Pertanyaan penting ini saya terima ketika buku ini telah siap untuk dicetak. Yang mengajukan pertanyaan adalah Saudara Dr. Musthafa Siratisy, Ketua Muktamar Alami untuk Pemeliharaan Hak-hak Asasi Manusia di Bosnia Herzegovina, yang diselenggarakan di Zagreb ibu kota Kroasia, pada 18 dan 19 September 1992. Saya juga mengikuti kegiatan tersebut bersama Fadhilatus-Syekh Muhammad al-Ghazali dan sejumlah ulama serta juru dakwah kaum muslim dari seluruh penjuru dunia Islam.
Pertanyaan:
Dr. Musthafa berkata, "Sejumlah saudara kaum muslim di Republik Bosnia Herzegovina ketika mengetahui kedatangan Syekh Muhammad al-Ghazali dan Syekh al-Qardhawi, mendorong saya untuk mengajukan pertanyaan yang menyakitkan dan membingungkan yang disampaikan secara malu-malu oleh lisan para remaja putri kita yang diperkosa oleh tentara Serbia yang durhaka dan bengis, yang tidak memelihara hubungan kekerabatan dengan orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian, dan tidak menjaga kehormatan dan harkat manusia. Akibat perilaku mereka yang penuh dosa (pemerkosaan) itu maka banyak gadis muslimah yang hamil sehingga menimbulkan perasaan sedih, takut, malu, serta merasa rendah dan hina. Karena itulah mereka menanyakan kepada Syekh berdua dan semua ahli ilmu: apakah yang harus mereka lakukan terhadap tindak kriminalitas beserta akibatnya ini? Apakah syara' memperbolehkan mereka menggugurkan kandungan yang terpaksa mereka alami ini? Kalau kandungan itu dibiarkan hingga si janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka bagaimana hukumnya? Dan sampai dimana tanggung jawab si gadis yang diperkosa itu?"
Jawaban:
Fadhilatus-Syekh al-Ghazali menyerahkan kepada saya untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam sidang, maka saya menjawabnya secara lisan dan direkam agar dapat didengar oleh saudara-saudara khususnya remaja putri di Bosnia.
Saya pandang lebih bermanfaat lagi jika saya tulis jawaban ini agar dapat disebarluaskan serta dijadikan acuan untuk peristiwa-peristiwa serupa. Tiada daya (untuk menjauhi keburukan) dan tiada kekuatan (untuk melakukan ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah.
Kita kaum muslim telah dijadikan objek oleh orang-orang yang rakus dan dijadikan sasaran bagi setiap pembidik, dan kaum wanita serta anak-anak perempuan kita menjadi daging yang "mubah" untuk disantap oleh serigala-serigala lapar dan binatang-binatang buas itu tanpa takut akibatnya atau pembalasannya nanti.
Pertanyaan serupa juga pernah diajukan kepada saya oleh saudara-saudara kita di Eritrea mengenai nasib yang menimpa anak-anak dan saudara-saudara perempuan mereka akibat ulah tentara Nasrani yang tergabung dalam pasukan pembebasan Eritrea, sebagaimana yang diperbuat tentara Serbia hari ini terhadap anak-anak perempuan muslimah Bosnia yang tak berdosa.
Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan beberapa tahun lalu oleh sekelompok wanita mukminah yang cendekia dari penjara orang-orang zalim jenis thaghut di beberapa negara Arab Asia kepada sejumlah ulama di negara-negara Arab yang isinya: apa yang harus mereka lakukan terhadap kandungan mereka yang merupakan kehamilan haram yang terjadi bukan karena mereka berbuat dosa dan bukan atas kehendak mereka?
Pertama-tama perlu saya tegaskan bahwa saudara-saudara dan anak-anak perempuan kita, yang telah saya sebutkan, tidak menanggung dosa sama sekali terhadap apa yang terjadi pada diri mereka, selama mereka sudah berusaha menolak dan memeranginya, kemudian mereka dipaksa di bawah acungan senjata dan di bawah tekanan kekuatan yang besar. Maka apakah yang dapat diperbuat oleh wanita tawanan yang tidak punya kekuatan di hadapan para penawan atau pemenjara yang bersenjata lengkap yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh belas kasihan kepada makhluk? Allah sendiri telah menetralisasi dosa (yakni tidak menganggap berdosa) dari orang yang terpaksa dalam masalah yang lebih besar daripada zina, yaitu kekafiran dan mengucapkan kalimatul-kafri. Firman-Nya:
"... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)." (an-Nahl: 106)
Bahkan Al-Qur'an mengampuni dosa (tidak berdosa) orang yang dalam keadaan darurat, meskipun ia masih punya sisa kemampuan lahiriah untuk berusaha, hanya saja tekanan kedaruratannya lebih kuat. Allah berfirman setelah menyebutkan macam-macam makanan yang diharamkan:
"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 173)
Dan Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas suatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya."1
Bahkan anak-anak dan saudara-saudara perempuan kita mendapatkan pahala atas musibah yang menimpa mereka, apabila mereka tetap berpegang teguh pada Islam --yang karena keislamannyalah mereka ditimpa bala bencana dan cobaan-- dan mengharapkan ridha Allah Azza wa Jalla dalam menghadapi gangguan dan penderitaan tersebut. Rasulullah saw. bersabda:
"Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, atau kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya denganperistiwa-peristiwa itu."2
Apabila seorang muslim mendapat pahala hanya karena dia tertusuk duri, maka bagaimana lagi jika kehormatannya dirusak orang dan kemuliaannya dikotori?
Karena itu saya nasihatkan kepada pemuda-pemuda muslim agar mendekatkan diri kepada Allah dengan menikahi salah seorang dari wanita-wanita tersebut, karena kasihan terhadap keadaan mereka sekaligus mengobati luka hati mereka yang telah kehilangan sesuatu yang paling berharga sebagai wanita terhormat dan suci, yaitu kegadisannya.
Adapun menggugurkan kandungan, maka telah saya jelaskan dalam fatwa terdahulu bahwa pada dasarnya hal ini terlarang, semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan, yang dari keduanya muncul makhluk yang baru dan menetap didalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim.
Maka makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari hubungan yang haram seperti zina. Dan Rasulullah saw. telah memerintahkan wanita Ghamidiyah yang mengaku telah berbuat zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu sampai melahirkan anaknya, kemudian setelah itu ia disuruh menunggu sampai anaknya sudah tidak menyusu lagi --baru setelah itu dijatuhi hukuman rajam.
Inilah fatwa yang saya pilih untuk keadaan normal, meskipun ada sebagian fuqaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan asalkan belum berumur empat puluh hari, berdasarkan sebagian riwayat yang mengatakan bahwa peniupan ruh terhadap janin itu terjadi pada waktu berusia empat puluh atau empat puluh dua hari.
Bahkan sebagian fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum berusia seratus dua puluh hari, berdasarkan riwayat yang masyhur bahwa peniupan ruh terjadi pada waktu itu.
Tetapi pendapat yang saya pandang kuat ialah apa yang telah saya sebutkan sebagai pendapat pertama di atas, meskipun dalam keadaan udzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di antara dua pendapat terakhir tersebut. Apabila udzurnya semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas; dan bila hal itu terjadi sebelum berusia empat puluh hari maka yang demikian lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).
Selain itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan dari musuh yang kafir dan durhaka, yang melampaui batas dan pendosa, terhadap wanita muslimah yang suci dan bersih, merupakan udzur yang kuat bagi si muslimah dan keluarganya karena ia sangat benci terhadap janin hasil pemerkosaan tersebut serta ingin terbebas daripadanya. Maka ini merupakan rukhshah yang difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar ukurannya.
Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fuqaha yang sangat ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan kandungan meskipun baru berusia satu hari. Bahkan ada pula yang mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan, ataupun dari kedua-duanya, dengan beralasan beberapa hadits yang menamakan nazl sebagai pembunuhan tersembunyi (terselubung). Maka tidaklah mengherankan jika mereka mengharamkan pengguguran setelah terjadinya kehamilan.
Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang ketat yang melarangnya.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa sel telur wanita setelah dibuahi oleh sel sperma laki-laki telah menjadi manusia, maka yang demikian hanyalah semacam majas (kiasan) dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia.
Memang benar bahwa wujud ini mengandung kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel sperma serta sel telur itu sendiri sebelum bertemu sudah mengandung kehidupan, namun yang demikian bukanlah kehidupan manusia yang telah diterapkan hukum padanya.
Karena itu rukhshah terikat dengan kondisi udzur yang muktabar (dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli syara', dokter, dan cendekiawan. Sedangkan yang kondisinya tidak demikian, maka tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.
Maka bagi wanita muslimah yang mendapatkan cobaan dengan musibah seperti ini hendaklah memelihara janin tersebut --sebab menurut syara' ia tidak menanggung dosa, sebagaimana saya sebutkan di muka-- dan ia tidak dipaksa untuk menggugurkannya. Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka dia adalah anak muslim, sebagaimana sabda Nabi saw.:
"Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."3
Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam.
Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak apabila kedua orang tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang terbaik agamanya. Ini bagi orang (anak) yang diketahui ayahnya, maka bagaimana dengan anak yang tidak ada bapaknya? Sesungguhnya dia adalah anak muslim, tanpa diragukan lagi.
Dalam hal ini, bagi masyarakat muslim sudah seharusnya mengurus pemeliharaan dan nafkah anak itu serta memberinyapendidikan yang baik, jangan menyerahkan beban itu kepada ibunya yang miskin dan yang telah terkena cobaan. Demikian pula pemerintah dalam Islam, seharusnya bertanggung jawab terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial tertentu. Dalam hadits sahih muttafaq 'alaih, Rasulullah saw. bersabda:
"Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawabannya."4
Catatan kaki:
1 HR Ibnu Majah dalam "ath-Thalaq," juz 1, him. 659, hadits nomor 2045; disahkan oleh Hakim dalam kitabnya,juz 2, hlm. 198; disetujui oleh adz-Dzahabi; dan diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan-nya, juz 7, hlm. 356 ^
2 HR Bukhari dalam "al-Mardha' (dari kitab Shahih-nya), juz 10, hlm. 103, hadits nomor 5641 dan 5642. ^
3 HR Bukhari dalam "al-Jana'iz," juz 3, hlm. 245, hadits nomor 1385. ^
4 HR Bukhari dalam "al-'Itq," juz 5, hlm. 181, hadits nomor 2558, dan dalam "an-Nikah," juz 9, hlm. 299, hadits nomor 5200
HUKUM MENGGUNAKAN NARKOTIK
Pertanyaan:
Al-Qur'anul Karim dan Hadits Syarif menyebutkan pengharaman khamar, tetapi tidak menyebutkan keharaman bermacam-macam benda padat yang memabukkan, seperti ganja dan heroin. Maka bagaimanakah hukum syara' terhadap penggunaan benda-benda tersebut, sementara sebagian kaum muslim tetap mempergunakannya dengan alasan bahwa agama tidak mengharamkannya?
Jawaban:
Segala puji kepunyaan Allah, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du:
Ganja, heroin, serta bentuk lainnya baik padat maupun cair yang terkenal dengan sebutan mukhaddirat (narkotik) adalah termasuk benda-benda yang diharamkan syara' tanpa diperselisihkan lagi di antara ulama.
Dalil yang menunjukkan keharamannya adalah sebagai berikut:
1. Ia termasuk kategori khamar menurut batasan yang dikemukakan Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a.:
"Khamar ialah segala sesuatu yang menutup akal."1
Yakni yang mengacaukan, menutup, dan mengeluarkan akal dari tabiatnya yang dapat membedakan antar sesuatu dan mampu menetapkan sesuatu. Benda-benda ini akan mempengaruhi akal dalam menghukumi atau menetapkan sesuatu, sehingga terjadi kekacauan dan ketidaktentuan, yang jauh dipandang dekat dan yang dekat dipandang jauh. Karena itu sering kali terjadi kecelakaan lalu lintas sebagai akibat dari pengaruh benda-benda memabukkan itu.
2. Barang-barang tersebut, seandainya tidak termasuk dalam kategori khamar atau "memabukkan," maka ia tetap haram dari segi "melemahkan" (menjadikan loyo). Imam Abu Daud meriwayatkan dari Ummu Salamah.
"Bahwa Nabi saw. melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan (menjadikan lemah)."2
Al-mufattir ialah sesuatu yang menjadikan tubuh loyo tidak bertenaga. Larangan dalam hadits ini adalah untuk mengharamkan, karena itulah hukum asal bagi suatu larangan, selain itu juga disebabkan dirangkaikannya antara yang memabukkan --yang sudah disepakati haramnya-- dengan mufattir.
3. Bahwa benda-benda tersebut seandainya tidak termasuk dalam kategori memabukkan dan melemahkan, maka ia termasuk dalam jenis khabaits (sesuatu yang buruk) dan membahayakan, sedangkan diantara ketetapan syara': bahwa lslam mengharamkan memakan sesuatu yang buruk dan membahayakan, sebagaimana flrman Allah dalam menyifati Rasul-Nya a.s. di dalam kitab-kitab Ahli Kitab:
"... dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ..."(al-A'raf: 157)
Dan Rasulullah saw. bersabda:
"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh memberi bahaya (mudarat) kepada orang lain."3
Segala sesuatu yang membahayakan manusia adalah haram:
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (an-Nisa': 29)
"... dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan ..." (al-Baqarah: 195)
Dalil lainnya mengenai persoalan itu ialah bahwa seluruh pemerintahan (negara) memerangi narkotik dan menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepada yang mengusahakan dan mengedarkannya. Sehingga pemerintahan suatu negara yang memperbolehkan khamar dan minuman keras lainnya sekalipun, tetap memberikan hukuman berat kepada siapa saja yang terlibat narkotik. Bahkan sebagian negara menjatuhkan hukuman mati kepada pedagang dan pengedarnya. Hukuman ini memang tepat dan benar, karena pada hakikatnya para pengedar itu membunuh bangsa-bangsa demi mengeruk kekayaan. Oleh karena itu, mereka lebih layak mendapatkan hukuman qishash dibandingkan orangyang membunuh seorang atau dua orang manusia.
Syekhul lslam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya mengenai apa yang wajib diberlakukan terhadap orang yang mengisap ganja dan orang yang mendakwakan bahwa semua itu jaiz, halal, dan mubah?
Beliau menjawab:
"Memakan (mengisap) ganja yang keras ini terhukum haram, ia termasuk seburuk-buruk benda kotor yang diharamkan. Sama saja hukumnya, sedikit atau banyak, tetapi mengisap dalam jumlah banyak dan memabukkan adalah haram menurut kesepakatan kaum muslim. Sedangkan orang yang menganggap bahwa ganja halal, maka dia terhukum kafir dan diminta agar bertobat. Jika ia bertobat maka selesailah urusannya, tetapi jika tidak mau bertobat maka dia harus dibunuh sebagai orang kafir murtad, yang tidak perlu dimandikan jenazahnya, tidak perlu dishalati, dan tidak boleh dikubur di pemakaman kaum muslim. Hukum orang yang murtad itu lebih buruk daripada orang Yahudi dan Nasrani, baik ia beriktikad bahwa hal itu halal bagi masyarakat umum maupun hanya untuk orang-orang tertentu yang beranggapan bahwa ganja merupakan santapan untuk berpikir dan berdzikir serta dapat membangkitkan kemauan yang beku ke tempat yang terhormat, dan untuk itulah mereka mempergunakannya."
Sebagian orang salaf pernah ada yang berprasangka bahwa khamar itu mubah bagi orang-orang tertentu, karena menakwilkan firman Allah Ta'ala:
"Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan ..." (al-Ma'idah 93)
Ketika kasus ini dibawa kepada Umar bin Khattab dan dimusyawarahkan dengan beberapa orang sahabat, maka sepakatlah Umar dengan Ali dan para sahabat lainnya bahwa apabila yang meminum khamar masih mengakui sebagai perbuatan haram, mereka dijatuhi hukuman dera, tetapi jika mereka terus saja meminumnya karena menganggapnya halal, maka mereka dijatuhi hukuman mati. Demikian pula dengan ganja, barangsiapa yang berkeyakinan bahwa ganja haram tetapi ia mengisapnya, maka ia dijatuhi hukuman dera dengan cemeti sebanyak delapan puluh kali atau empat puluh kali, dan ini merupakan hukuman yang tepat. Sebagian fuqaha memang tidak menetapkan hukuman dera, karena mereka mengira bahwa ganja dapat menghilangkan akal tetapi tidak memabukkan, seperti al-banj (Ienis tumbuh-tumbuhan yang dapat membius) dan sejenisnya yang dapat menutup akal tetapi tidak memabukkan. Namun demikian, semua itu adalah haram menurut kesepakatan kaum muslim. Barangsiapa mengisapnya dan memabukkan maka ia dijatuhi hukuman dera seperti meminum khamar, tetapi jika tidak memabukkan maka pengisapnya dijatuhi hukuman ta'zir yang lebih ringan daripada hukuman jald (dera). Tetapi orang yang menganggap hal itu halal, maka dia adalah kafir dan harus dijatuhi hukuman mati.
Yang benar, ganja itu memabukkan seperti minuman keras, karena pengisapnya menjadi kecanduan terhadapnya dan terus memperbanyak (mengisapnya banyak-banyak). Berbeda dengan al-banj dan lainnya yang tidak menjadikan kecanduan dan tidak digemari. Kaidah syariat menetapkan bahwa barang-barang haram yang digemari nafsu seperti khamar dan zina, maka pelakunya dikenai hukum had, sedangkan yang tidak digemari oleh nafsu, seperti bangkai, maka pelakunya dikenai hukum ta'zir.
Ganja ini termasuk barang haram yang digemari oleh pengisapnya dan sulit untuk ditinggalkan. Nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah mengharamkan atas orang yang berusaha memperoleh sesuatu yang haram sebagaimana terhadap barang lainnya. Dan munculnya kebiasaan memakan atau mengisap ganja ini di kalangan masyarakat hampir bersamaan dengan munculnya pasukan Tatar. Karena ganja ini muncul lantas muncul pula pedang pasukan Tatar."4
Maksudnya, kemunculan atau kedatangan serbuan pasukan Tatar sebagai hukuman dari Allah karena telah merajalelanya kemunkaran di kalangan umat Islam, diantaranya adalah merajalelanya ganja terkutuk ini.
Di tempat lain beliau (Ibnu Taimiyah) berkata pula:
"Ada juga orang yang mengatakan bahwa ganja hanya mengubah akal tetapi tidak memabukkan seperti al-banj, padahal sebenarnya tidak demikian, bahkan ganja itu menimbulkan kecanduan dan kelezatan serta kebingungan (karena gembira atau susah), dan inilah yang mendorong seseorang untuk mendapatkan dan merasakannya. Mengisap ganja sedikit akan mendorong si pengisap untuk meraih lebih banyak lagi seperti halnya minuman yang memabukkan, dan orang yang sudah terbiasa mengisap ganja akan sangat sulit untuk meninggalkannya, bahkan lebih sulit daripada meninggalkan khamar. Karena itu, bahaya ganja dari satu segi lebih besar daripada bahaya khamar. Maka para fuqaha bersepakat bahwa pengisap ganja wajib dijatuhi hukum had (hukuman yang pasti bentuk dan bilangannya) sebagaimana halnya khamar.
Adapun orang yang mengatakan bahwa masalah ganja ini tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an dan hadits, maka pendapatnya ini hanyalah disebabkan kebodohannya. Sebab di dalam Al-Qur'an dan hadits terdapat kalimat-kalimat yang simpel yang merupakan kaidah umum dan ketentuan global, yang mencakup segala kandungannya. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur'an dan al-hadits dengan istilah 'aam (umum). Sebab tidak mungkin menyebutkan setiap hal secara khusus (kasus per kasus)."5
Dengan demikian, nyatalah bagi kita bahwa ganja, opium, heroin, morfin, dan sebagainya yang termasuk makhaddirat (narkotik) --khususnya jenis-jenis membahayakan yang sekarang mereka istilahkan dengan racun putih-- adalah haram dan sangat haram menurut kesepakatan kaum muslim, termasuk dosa besar yang membinasakan, pengisapnya wajib dikenakan hukuman, dan pengedar atau pedagangnya harus dijatuhi hukuman mati, karena ia memperdagangkan ruh umat untuk memperkaya dirinya sendiri. Maka orang-orang seperti inilah yang lebih utama untuk dijatuhi hukuman seperti yang tertera dalam firman Allah:
"Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orangyang berakal, supaya kamu bertakwa." (al-Baqarah: 179)
Adapun hukuman ta'zir menurut para fuqaha muhaqqiq (ahli membuat keputusan) bisa saja berupa hukuman mati, tergantung kepada mafsadat yang ditimbulkan pelakunya.
Selain itu, orang-orang yang menggunakan kekayaan dan jabatannya untuk membantu orang yang terlibat narkotik ini, maka mereka termasuk golongan:
"... orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi ..." (al-Ma'idah: 33)
Bahkan kenyataannya, kejahatan dan kerusakan mereka melebihi perampok dan penyamun, karena itu tidak mengherankan jika mereka dijatuhi hukuman seperti perampok dan penyamun:
"... Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang beraL" (al-Ma'idah: 33)
1 Muttafaq 'alaih secara mauquf sebagai perkataan Umar, sebagaimana disebutkan dalam al-Lu'lu' wal-Marjan (hadits nomor 1905), dan diriwayatkan juga oleh Abu Daud, hadits nomor 3669; dan Nasa'i dalam "Kitab al-Asyrabah." ^
2 Abu Daud dalam "Kitab al-Asyrabah," nomor 3686. ^
3 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, dan dirinwayatkan Ibnu Majah sendiri dari Ubadah, dan para ulama hadits mengesahkannya karena banyak jalannya. ^
4 Majmu' Fatawa, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, juz 24, hlm. 213-214. ^
5 Ibid, hlm. 206-207.
PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN
Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.
Diantara kewajiban ahli fiqih muslim ialah berhenti di hadapan beberapa persoalan yang dihadapinya untuk menetapkan beberapa hakikat penting, antara lain:
Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan menganggapnya sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib dijaga, sehingga syariat memperbolehkan wanita hamil untuk berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, bahkan kadang-kadang diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan keselamatan kandungannya. Karena itu syariat Islam mengharamkan tindakan melampaui batas terhadapnya, meskipun yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah mengandungnya dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan yang haram --yang dilakukan dengan jalan perzinaan-- janinnya tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia hidup yang tidak berdosa:
"... Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain ..." (al-Isra': 15)
Selain itu, kita juga mengetahui bahwa syara' mewajibkan penundaan pelaksanaan hukum qishash terhadap wanita hamil yang dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga janinnya, sebagaimana kisah wanita al-Ghamidiyah yang diriwayatkan dalam kitab sahih. Dalam hal ini syara' memberi jalan kepada waliyul-amri (pihak pemerintah) untuk menghukum wanita tersebut, tetapi tidak memberi jalan untuk menghukum janin yang ada di dalam kandungannya.
Seperti kita lihat juga bahwa syara' mewajibkan membayar diat (denda) secara sempurna kepada seseorang yang memukul perut wanita yang hamil, lalu dia melahirkan anaknya dalam keadaan hidup, namun akhirnya mati karena akibat pukulan tadi. Ibnul Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini.2
Sedangkan jika bayi itu lahir dalam keadaan mati, maka dia tetap dikenakan denda karena kelengahannya (ghirrah), sebesar seperdua puluh diat.
Kita juga melihat bahwa syara' mewajibkan si pemukul membayar kafarat --disamping diat dan ghirrah-- yaitu memerdekakan seorang budak yang beriman, jika tidak dapat maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal itu diwajibkan atasnya, baik janin itu hidup atau mati.
Ibnu Qudamah berkata, "Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar r.a.. Mereka berdalil dengan firman Allah:
"... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja) hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yangmukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 92)
Mereka berkata, "Apabila wanita hamil meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang membunuh tidak boleh mewarisi sesuatu dari yang dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan perbuatan jahat yaitu menggugurkan janin. Sedangkan memerdekakan budak merupakan kafarat bagi tindak kejahatannya. Demikian pula jika yang menggugurkan janin itu ayahnya maka si ayah harus membayar denda, tidak boleh mewarisi sesuatu daripadanya, dan harus memerdekakan budak."3
Jika tidak mendapatkan budak (atau tidak mampu memerdekakan budak), maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT.
Lebih dari itu adalah perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengenai pembunuhan janin setelah ditiupkannya ruh, yakni setelah kandungan berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih. Ibnu Hazm menganggap tindakan ini sebagai tindak kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung segala risiko, seperti hukum qishash dan lain-lainnya. Beliau berkata:
"Jika ada orang bertanya, 'Bagaimana pendapat Anda mengenai seorang perempuan yang sengaja membunuh janinnya setelah kandungannya berusia seratus dua puluh hari, atau orang lain yang membunuhnya dengan memukul (atau tindakan apa pun) terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh si janin?' Kami jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum qishash, tidak boleh tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda. Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar ghirrah atau denda saja karena itu merupakan diat, tetapi tidak wajib membayar kafarat karena hal itu merupakan pembunuhan dengan sengaja. Dia dikenakan hukuman qishash karena telah membunuh suatu jiwa (manusia) yang beriman dengan sengaja, maka menghilangkan (membunuh) jiwa harus dibalas dengan dibunuh pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua alternatif, menuntut hukum qishash atau diat, sebagaimana hukum yang ditetapkan Rasulullah saw. terhadap orang yang membunuh orang mukmin. Wa billahit taufiq."
Mengenai wanita yang meminum obat untuk menggugurkan kandungannya, Ibnu Hazm berkata:
"Jika anak itu belum ditiupkan ruh padanya, maka dia (ibu tersebut) harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan ruh padanya --bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya-- maka dia terkena ghirrah dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja membunuhnya, maka dia dijatuhi hukum qishash atau membayar tebusan dengan hartanya sendiri."4
Janin yang telah ditiupkan ruh padanya, oleh Ibnu Hazm dianggap sebagai sosok manusia, sehingga beliau mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuknya. Sedangkan golongan Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib.
Semua itu menunjukkan kepada kita betapa perhatian syariat terhadap janin, dan betapa ia menekankan penghormatan kepadanya, khususnya setelah sampai pada tahap yang oleh hadits disebut sebagai tahapan an-nafkhu fir-ruh (peniupan ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang harus kita terima begitu saja, asalkan riwayatnya sah, dan tidak usah kita memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman:
"... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (al-Isra': 85)
Saya kira, hal itu bukan semata-mata kehidupan yang dikenal seperti kita ini, meskipun para pensyarah dan fuqaha memahaminya demikian. Hakikat yang ditetapkan oleh ilmu pengetahuan sekarang secara meyakinkan ialah bahwa kehidupan telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan manusia yang diistilahkan oleh hadits dengan "peniupan ruh." Hal ini ditunjuki oleh isyarat Al- Qur'an:
"Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya ..." (as-Sajdah: 9)
Tetapi diantara hadits-hadits sahih terdapat hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Mas'ud yang menyebutkan diutusnya malaikat untuk meniup ruh setelah usia kandungan melampaui masa tiga kali empat puluh hari (120hari).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits Hudzaifah bin Usaid, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
"Apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya, ra Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi, bagaimana ajalnya?' Lalu Rabb-mu menetapkan sesuaidengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian ia bertanya, 'Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?' Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya, maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang diperintahkan itu."5
Hadits ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk bagi nutfah setelah berusia enam minggu (empat puluh dua hari)6 bukan setelah berusia seratus dua puluh hari sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud yang terkenal itu. Sebagian ulama mengompromikan kedua hadits tersebut dengan mengatakan bahwa malaikat itu diutus beberapa kali, pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari, dan kali lain pada waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari) untuk meniupkan ruh.7
Karena itu para fuqaha telah sepakat akan haramnya menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak ada seorang pun yang menentang ketetapan ini, baik dari kalangan salaf maupun khalaf.8
Adapun pada tahap sebelum ditiupkannya ruh, maka diantara fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum ditiupkannya ruh itu, sebagian saudara kita yang ahli kedokteran dan anatomi mengatakan, "Sesungguhnya hukum yang ditetapkan para ulama yang terhormat itu didasarkan atas pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka mengetahui apa yang kita ketahui sekarang mengenai wujud hidup yang membawa ciri-ciri keturunan (gen) kedua orang tuanya dan keluarganya serta jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum dan fatwa mereka karena mengikuti perubahan 'illat (sebab hukum), karena hukum itu berputar menurut 'illat-nya, pada waktu ada dan tidak adanya 'illat."
Diantara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa di kalangan ahli kandungan dan anatomi sendiri terdapat perbedaan pendapat --sebagaimana halnya para fuqaha-- di dalam menetapkan kehidupan janin pada tahap pertama: sebelum berusia 42 hari dan sebelum 120 hari. Perbedaan diantara mereka ini juga memperkokoh perbedaan pendapat para fuqaha mengenai janin sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari.
Barangkali ini merupakan rahmat Allah kepada manusia agar udzur dan darurat itu mempunyai tempat.
Maka tidak apalah apabila saya sebutkan sebagian dari perkataan fuqaha mengenai persoalan ini:
Syekhul Islam al-Hafizh Ibnu Hajar didalam Fathul-Bari menyinggung mengenai pengguguran kandungan --setelah membicarakan secara panjang lebar mengenai masalah 'azl (mencabut zakar untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada waktu ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang boleh dan tidaknya melakukan hal itu, yang pada akhirnya beliau cenderung memperbolehkannya karena tidak kuatnya dalil pihak yang melarangnya. Beliau berkata:
"Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum wanita menggunakan obat untuk menggugurkan (merusak) nutfah (embrio) sebelum ditiupkannya ruh. Barangsiapa yang mengatakan hal ini terlarang, maka itulah yang lebih layak; dan orang yang memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan dengan 'azl. Tetapi kedua kasus ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah itu lebih berat, karena 'azl itu dilakukan sebelum terjadinya sebab (kehidupan), sedangkan perusakan nutfah itu dilakukan setelah terjadinya sebab kehidupan (anak)."9
Sementara itu, diantara fuqaha ada yang membedakan antara kehamilan yang berusia kurang dari empat puluh hari dan yang berusia lebih dari empat puluh hari. Lalu mereka memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat puluh hari, dan melarangnya bila usianya telah lebih dari empat puluh hari. Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat mereka adalah hadits Muslim yang saya sebutkan di atas. Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang termasuk kitab mazhab Syafi'i, disebutkan dua macam pendapat para ahli ilmu mengenai nutfah sebelum genap empat puluh hari:
"Ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dihukumi sebagai pengguguran dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak, dan tidak boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap di dalam rahim (uterus)."10
Diantara fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap sebelum penciptaan janin dan tahap sesudah penciptaan (pembentukan). Lalu mereka memperbolehkan aborsi (pengguguran) sebelum pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.
Didalam an-Nawadir, dari kitab mazhab Hanafi, disebutkan, "Seorang wanita yang menelan obat untuk menggugurkan kandungannya, tidaklah berdosa asalkan belum jelas bentuknya."11
Didalam kitab-kitab mereka juga mereka ajukan pertanyaan: bolehkah menggugurkan kandungan setelah terjadinya kehamilan? Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum berbentuk.
Kemudian di tempat lain mereka berkata, "Tidaklah terjadipembentukan (penciptaan) melainkan setelah kandungan itu berusia seratus dua puluh hari. "
Muhaqqiq (ulama ahli menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal bin al-Hammam, berkata, "Ini berarti bahwa yang mereka maksud dengan penciptaan atau pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh, sebab jika tidak demikian berarti keliru, karena pembentukan itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu."12
Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui oleh ilmu pengetahuan sekarang.
Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertianbahwa kebolehan menggugurkan kandungan itu tidak bergantung pada izin suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul Mukhtar: "Mereka berkata, 'Diperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum berusia empat bulan, meskipun tanpa izin suami.'"
Namun demikian, diantara ulama Hanafiyah ada yang menolak hukum yang memperbolehkan pengguguran secara mutlak itu, mereka berkata, "Saya tidak mengatakan halal, karena orang yang sedang ihram saja apabila memecahkan telur buruan itu harus menggantinya, karena itulah hukum asal mengenai pembunuhan. Kalau orang yang melakukan ihram saja dikenakan hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang yang menggugurkan kandungan tanpa udzur."
Diantara mereka ada pula yang mengatakan makruh, karena air (sperma) setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi mempunyai hukum sebagai manusia hidup, seperti halnya telur binatang buruan pada waktu ihram. Karena itu ahli tahqiq mereka berkata, "Maka kebolehan menggugurkan kandungan itu harus diartikan karena dalam keadaan udzur, atau dengan pengertian bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh."13
Akan tetapi, kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak memperbolehkan pengguguran, meskipunsebelum ditiupkannya ruh.
Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang 'azl dan mereka anggap hal ini sebagai "pembunuhan terselubung" sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan bahwa 'azl berarti menghalangi sebab-sebab kehidupan untuk menuju realitas atau perwujudannya. Karena itu mereka melarang menggugurkan kandungan dan mengharamkannya dengan jalan qiyas aulawi (maksudnya, kalau 'azl saja terlarang, maka pengguguran lebih terlarang lagi), karena sebab-sebab kehidupan disini telah terjadi dengan bertemunya sperma laki-laki dengan sel telur perempuan dan terjadinya pembuahan yang menimbulkan wujud makhluk baru yang membawa sifat-sifat keturunan yang hanya Allah yang mengetahuinya.
Tetapi ada juga ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena alasan-alasan yang berhubungan dengan ibu atau anaknya (yang baru dilahirkan), atau bisa juga karena pertimbangan keluarga untuk kebaikan pendidikan anak-anak, atau lainnya. Namun demikian, mereka tidak memperbolehkan aborsi (pengguguran) dan menyamakannya dengan pembunuhan terselubung, meskipun tingkat kejahatannya berbeda.
Diantara yang berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya lihat beliau --meskipun beliau memperbolehkan 'azl dengan alasan-alasan yang akurat menurut beliau-- membedakan dengan jelas antara menghalangi kehamilan dengan 'azl dan menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:
"Hal ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan pengguguran dan pembunuhan terselubung; sebab yang demikian (pengguguran dan pembunuhan terselubung) merupakan tindak kejahatan terhadap suatu wujud yang telah ada, dan wujud itu mempunyai beberapa tingkatan. Tingkatan yang pertama ialah masuknya nutfah (sperma) ke dalam rahim, dan bercampur dengan air (mani) perempuan (ovum), serta siap untuk menerima kehidupan. Merusak keadaan ini merupakan suatu tindak kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka kejahatan terhadapnya lebih buruk lagi tingkatannya. Jika telah ditiupkan ruh padanya dan telah sempurna kejadiannya, maka tingkat kejahatannya bertambah tinggi pula. Dan sebagai puncak kejahatan terhadapnya ialah membunuhnya setelah ia lahir dalam keadaan hidup."14
Perlu diperhatikan, bahwa Imam al-Ghazali rahimahullah menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan terhadap wujud manusia yang telah ada, tetapi beliau juga menganggap pertemuan sperma dengan ovum sebagai "siap menerima kehidupan."
Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau tahu apa yang kita ketahui sekarang bahwa kehidupan telah terjadi semenjak bertemunya sel sperma laki-laki dengan sel telur wanita?
Karena itu saya katakan, "Pada dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun keharamannya bertingkat-tingkat sesuai dengan perkembangan kehidupan janin."
Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan, bahkan kadang-kadang boleh digugurkan karena udzur yang muktabar (akurat); dan setelah kandungan berusia diatas empat puluh hari maka keharaman menggugurkannya semakin kuat, karena itu tidak boleh digugurkan kecuali karena udzur yang lebih kuat lagi menurut ukuran yang ditetapkan ahli fiqih. Keharaman itu bertambah kuat dan berlipat ganda setelah kehamilan berusia seratus dua puluh hari, yang oleh hadits diistilahkan telah memasuki tahap "peniupan ruh."
Dalam hal ini tidak diperbolehkan menggugurkannya kecuali dalam keadaan benar-benar sangat darurat, dengan syarat kedaruratan yang pasti, bukan sekadar persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya.
Menurut pendapat saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam satu bentuk saja, yaitu keberadaan janin apabila dibiarkan akan mengancam kehidupan si ibu, karena ibu merupakan pangkal/asal kehidupan janin, sedangkan janin sebagai fara' (cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang asal (pokok) demi kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan syara' juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.
Tetapi ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan tidak memperbolehkan tindak kejahatan (pengguguran) terhadap janin yang hidup dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab mazhab Hanafi disebutkan:
"Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang dan tidak mungkin dikeluarkan kecuali dengan memotong-motongnya, yang apabila tidak dilakukan tindakan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan kematian si ibu ... mereka berpendapat, 'Jika anak itu sudah dalam keadaan meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika masih hidup maka tidak boleh memotongnya karena menghidupkan suatu jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam syara'.'"15
Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan syara', yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya dan lebih kecil mafsadatnya.
Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran lain dari kasus di atas, yaitu:
"Adanya ketetapan secara ilmiah yang menegaskan bahwa janin --sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi kondisi yang buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya kehidupannya dan keluarganya, sesuai dengan kaidah:
"Bahaya itu ditolak sedapat mungkin."
Tetapi hendaknya hal ini ditetapkan oleh beberapa orang dokter, bukan cuma seorang.
Pendapat yang kuat menyebutkan bahwa janin setelah genap berusia empat bulan adalah manusia hidup yang sempurna. Maka melakukan tindak kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan tindak kejahatan terhadap anak yang sudah dilahirkan.
Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami kondisi yang sangat buruk dan membahayakan biasanya tidak bertahan hidup setelah dilahirkan, sebagaimana sering kita saksikan, dan sebagaimana dinyatakan oleh para spesialisnya sendiri.
Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya. Saya kemukakan disini suatu peristiwa yang saya terlibat didalamnya, yang terjadi beberapa tahun silam. Yaitu ada seorang teman yang berdomisili di salah satu negara Barat meminta fatwa kepada saya sehubungan para dokter telah menetapkan bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia lima bulan-- akan lahir dalam kondisi yang amat buruk. Ia menjelaskan bahwa pendapat dokter-dokter itu hanya melalui dugaan yang kuat, tidak ditetapkan secara meyakinkan. Maka jawaban saya kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah dan menyerahkan ketentuan urusan itu kepadaNya, barangkali dugaan dokter itu tidak tepat. Tidak terasa beberapa bulan berikutnya saya menerima sehelai kartu dari Eropa yang berisi foto seorang anak yang molek yang disertai komentar oleh ayahnya yang berbunyi demikian:
"Pamanda yang terhormat,
Saya berterima kasih kepadamu sesudah bersyukur kepada Allah Ta'ala, bahwa engkau telah menyelamatkanku (keluargaku) dari pisau para dokter bedah. Fatwamu telah menjadi sebab kehidupanku, karena itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu ini selama saya masih hidup."
Kemajuan ilmu kedokteran sekarang telah mampu mendeteksi kerusakan (cacat) janin sebelum berusia empat bulan sebelum mencapai tahap ditiupkannya ruh. Namun demikian, tidaklah dipandang akurat jika dokter membuat dugaan bahwa setelah lahir nanti si janin (anak) akan mengalami cacat --seperti buta, tuli, bisu-- dianggap sebagai sebab yang memperbolehkan digugurkannya kandungan. Sebab cacat-cacat seperti itu merupakan penyakit yang sudah dikenal di masyarakat luas sepanjang kehidupan manusia dan disandang banyak orang, lagi pula tidak menghalangi mereka untuk bersamasama orang lain memikul beban kehidupan ini. Bahkan manusia banyak yang mengenal (melihat) kelebihan para penyandang cacat ini, yang nama-nama mereka terukir dalam sejarah.
Selain itu, kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa ilmu pengetahuan manusia dengan segala kemampuan dan peralatannya akan dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan Allah sebagai ujian dan cobaan:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya ..." (al-Insan: 2)
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (al-Balad: 4)
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman kita sekarang ini telah turut andil dalam memberikan pelajaran kepada orang-orang cacat untuk meraih keberuntungan, sebagaimana keduanya telah turut andil untuk memudahkan kehidupan mereka. Dan banyak diantara mereka (orang-orang cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti orang-orang yang normal. Lebih-lebih dengan sunnah-Nya Allah mengganti mereka dengan beberapa karunia dan kemampuan lain yang luar biasa.
Allah berfirman dengan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
CATATAN KAKI:
1 Fatwa ini sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Yayasan Islam untuk Ilmu-ilmu Kedokteran, di Kuwait, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh para fuqaha dan para dokter tentang berbagai masalah kedokteran yang bersentuhan dengan pandangan syara'. ^
2 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, hlm. 550. ^
3 Ibid., juz 6, hlm. 556-557. ^
4 Al-Muhalla, juz 11. ^
5 Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya, "Kitab al-Qadar," "Bab Kaifiyyatu Khalqil-Adamiyyi fi Bathni Ummihi," hadits nomor 2645. ^
6 Yang mengagumkan, ilmu kandungan dan anatomi setelahmengalami kemajuan seperti sekarang menetapkan bahwajanin setelah berusia empat puluh dua malam memasuki tahap baru dan perkembangan yang lain. ^
7 Fathul-Bari juz 14, hlm. 284, terbitan al-Halabi. ^
8 Sebagian ulama Syafi'iyah --sebagaimana disebutkan alam Hasyiyah asy-Syarwani 'ala Ibni Qasim, juz 9 hlm. -- menganggap bahwa Imam Abu Hanifah memperbolehkan menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh. Ini benar-benar kekeliruan terhadap beliau dan mazhab beliau. Kitab-kitab mazhab Hanafi menentang pendapat ini. ^
9 Fathul-Bari, juz 11, hlm. 222, terbitan al-Halabi. ^
10 Nihayah al-Muhta; karya ar-Ramli, juz 8, hlm. 416 terbitan al-Halabi. ^
11 Al-Bahrur-Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm 233Darul-Ma'rifah, Beirut. ^
12 Fathul-Qadir, juz 2 hlm 495, terbitan Bulaq. ^
13 Ad-Durrul-Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu Abidin 'Alaih, juz 2, hlm. 380. terbitan Bulaq. ^
14 Ihya 'Ulumuddin, "Bagian Ibadat," "Kitab Nikah," hlm. 737, terbitan Asy-Sya'b.^
15 Al-Bahrur Ra'iq, Ibnu Najim, juz 8, hlm. 233
BAGAIMANA HUKUM BANK SUSU
Pertanyaan:
Anak yang lahir prematur harus memerlukan perawatan tersendiri dalam suatu jangka waktu yang kadang-kadang lama, sehingga air susu ibunya melimpah-limpah.
Kemudian si anak mengalami kemajuan sedikit demi sedikit meski masih disebut rawan, tetapi ia sudah dibolehkan untuk minum air susu. Sudah dimaklumi bahwa air susu yang dapat menjalin hubungan nasab dan paling dapat menjadikan jalinan kasih sayang (kekeluargaan) adalah air susu manusia (ibu).
Beberapa yayasan berusaha menghimpun susu ibu-ibu yang sedang menyusui agar bermurah hati memberikan sebagian air susunya. Kemudian susu itu dikumpulkan dan disterilkan untuk diberikan kepada bayi-bayi prematur pada tahap kehidupan yang rawan ini, yang kadang-kadang dapat membahayakannya bila diberi susu selain air susu ibu (ASI).
Sudah barang tentu yayasan tersebut menghimpun air susu dari puluhan bahkan ratusan kaum ibu, kemudian diberikan kepada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus bayi prematur, laki-laki dan perempuan ... tanpa saling mengetahui dengan jelas susu siapa dan dikonsumsi siapa, baik pada masa sekarang maupun masa mendatang.
Hanya saja, penyusuan ini tidak terjadi secara langsung, yakni tidak langsung menghisap dari tetek.
Maka, apakah oleh syara' mereka ini dinilai sebagai saudara? Dan haramkah susu dari bank susu itu meskipun ia turut andil dalam menghidupi sekian banyak jiwa anak manusia?
Jika mubah dan halal, maka apakah alasan yang memperbolehkannya? Apakah Ustadz memandang karena tidak menetek secara langsung? Atau karena ketidakmungkinan memperkenalkan saudara-saudara sesusuan --yang jumlah mereka sangat sedikit-- dalam suatu masyarakat yang kompleks, artinya jumlah sedikit yang sudah membaur itu tidak mungkin dilacak atau diidentifikasi?
Jawaban:
Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.
Tidak diragukan lagi bahwa tujuan diadakannya bank air susu ibu sebagaimana dipaparkan dalam pertanyaan adalah tujuan yang baik dan mulia, yang didukung oleh Islam, untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang lahir prematur yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Tidak disangsikan lagi bahwa perempuan yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan air susunya itu boleh dibeli darinya, jika ia tak berkenan menyumbangkannya, sebagaimana ia diperbolehkan mencari upah dengan menyusui anak orang lain, sebagaimana nash Al-Qur'an serta contoh riil kaum muslim.
Juga tidak diragukan bahwa yayasan yang bergerak dalam bidang pengumpulan "air susu" itu --yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dikonsumsi oleh bayi-bayi atau anak-anak sebagaimana yang digambarkan penanya-- patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.
Lalu, apa gerangan yang dikhawatirkan dibalik kegiatan yang mulia ini?
Yang dikhawatirkan ialah bahwa anak yang disusui (dengan air susu ibu) itu kelak akan menjadi besar dengan izin Allah, dan akan menjadi seorang remaja di tengah-tengah masyarakat, yang suatu ketika hendak menikah dengan salah seorang dari putri-putri bank susu itu. Ini yang dikhawatirkan, bahwa wanita tersebut adalah saudaranya sesusuan. Sementara itu dia tidak mengetahuinya karena memang tidak pernah tahu siapa saja yang menyusu bersamanya dari air susu yang ditampung itu. Lebih dari itu, dia tidak tahu siapa saja perempuan yang turut serta menyumbangkan ASI-nya kepada bank susu tersebut, yang sudah tentu menjadi ibu susuannya. Maka haram bagi ibu itu menikah dengannya dan haram pula ia menikah dengan putri-putri ibu tersebut, baik putri itu sebagai anak kandung (nasab) maupun anak susuan. Demikian pula diharamkan bagi pemuda itu menikah dengan saudara-saudara perempuan ibu tersebut, karena mereka sebagai bibi-bibinya. Diharamkan pula baginya menikah dengan putri dari suami ibu susuannya itu dalam perkawinannya dengan wanita lain --menurut pendapat jumhur fuqaha-- karena mereka adalah saudara-saudaranya dari jurusan ayah ... serta masih banyak masalah dan hukum lain berkenaan dengan susuan ini.
Oleh karena itu, saya harus membagi masalah ini menjadi beberapa poin, sehingga hukumnya menjadi jelas.
Pertama, menjelaskan pengertian radha' (penyusuan) yang menjadi acuan syara' untuk menetapkan pengharaman.
Kedua, menjelaskan kadar susuan yang menjadikan haramnya perkawinan.
Ketiga, menjelaskan hukum meragukan susuan.
Pengertian Radhn' (Penyusuan)
Makna radha' (penyusuan) yang menjadi acuan syara' dalam menetapkan pengharaman (perkawinan), menurut jumhur fuqaha --termasuk tiga orang imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i-- ialah segala sesuatu yang sampai ke perut bayi melalui kerongkongan atau lainnya, dengan cara menghisap atau lainnya, seperti dengan al-wajur (yaitu menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan), bahkan mereka samakan pula dengan jalan as-sa'uth yaitu menuangkan air susu ke hidung (lantas ke kerongkongan), dan ada pula yang berlebihan dengan menyamakannya dengan suntikan lewat dubur (anus).
Tetapi semua itu ditentang oleh Imam al-Laits bin Sa'ad, yang hidup sezaman dengan Imam Malik dan sebanding (ilmunya) dengan beliau. Begitu pula golongan Zhahiriyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Allamah Ibnu Qudamah menyebutkan dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai wajur dan sa'uth.
Riwayat pertama, lebih dikenal sebagai riwayat dari Imam Ahmad dan sesuai dengan pendapat jumhur ulama: bahwa pengharaman itu terjadi melalui keduanya (yakni dengan memasukkan susu ke dalam perut baik lewat mulut maupun lewat hidung). Adapun yang melalui mulut (wajur), karena hal ini menumbuhkan daging dan membentuk tulang, maka sama saja dengan menyusu. Sedangkan lewat hidung (sa'uth), karena merupakan jalan yang dapat membatalkan puasa, maka ia juga menjadi jalan terjadinya pengharaman (perkawinan) karena susuan, sebagaimana halnya melalui mulut.
Riwayat kedua, bahwa hal ini tidak menyebabkan haramnya perkawinan, karena kedua cara ini bukan penyusuan.
Disebutkan di dalam al-Mughni "Ini adalah pendapat yang dipilih Abu Bakar, mazhab Daud, dan perkataan Atha' al-Khurasani mengenai sa'uth, karena yang demikian ini bukan penyusuan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya hanya mengharamkan (perkawinan) karena penyusuan. Karena memasukkan susu lewat hidung bukan penyusuan (menghisap puting susu), maka ia sama saja dengan memasukkan susu melalui luka pada tubuh."
Sementara itu, pengarang al-Mughni sendiri menguatkan riwayat yang pertama berdasarkan hadits Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
"Tidak ada penyusuan1 kecuali yang membesarkan tulang dan menumbuhkan daging"
Hadits yang dijadikan hujjah oleh pengarang kitab al-Mughni ini sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah untuknya, bahkan kalau direnungkan justru menjadi hujjah untuk menyanggah pendapatnya. Sebab hadits ini membicarakan penyusuan yang mengharamkan perkawinan, yaitu yang mempunyai pengaruh (bekas) dalam pembentukan anak dengan membesarkan tulang dan menumbuhkan dagingnya. Hal ini menafikan (tidak memperhitungkan) penyusuan yang sedikit, yang tidak mempengaruhi pembentukan anak, seperti sekali atau dua kali isapan, karena yang demikian itu tidak mungkin mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Maka hadits itu hanya menetapkan pengharaman (perkawinan) karena penyusuan yang mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging. Oleh karena itu, pertama-tama harus ada penyusuan sebelum segala sesuatunya (yakni penyusuan itu merupakan faktor yang utama dan dominan; Penj.).
Selanjutnya pengarang al-Mughni berkata, "Karena dengan cara ini air susu dapat sampai ke tempat yang sama --jika dilakukan melalui penyusuan-- serta dapat mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging sebagaimana melalui penyusuan, maka hal itu wajib disamakan dengan penyusuan dalam mengharamkan (perkawinan). Karena hal itu juga merupakan jalan yang membatalkan puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia juga merupakan jalan untuk mengharamkan perkawinan sebagaimana halnya penyusuan dengan mulut."
Saya mengomentari pengarang kitab al-Mughni rahimahullah, "Kalau 'illat-nya adalah karena mengembangkan tulang dan menumbuhkan daging dengan cara apa pun, maka wajib kita katakan sekarang bahwa mentransfusikan darah seorang wanita kepada seorang anak menjadikan wanita tersebut haram kawin dengan anak itu, sebab transfusi lewat pembuluh darah ini lebih cepat dan lebih kuat pengaruhnya daripada susu. Tetapi hukum-hukum agama tidaklah dapat dipastikan dengan dugaan-dugaan, karena persangkaan adalah sedusta-dusta perkataan, dan persangkaan tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran."
Menurut pendapat saya, asy-Syari' (Pembuat syariat) menjadikan asas pengharamnya itu pada "keibuan yang menyusukan" sebagaimana firman Allah ketika menerangkan wanita-wanita yang diharamkan mengawininya:
"... dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ..." (an-Nisa': 23)
Adapun "keibuan" yang ditegaskan Al-Qur'an itu tidak terbentuk semata-mata karena diambilkan air susunya, tetapi karena menghisap teteknya dan selalu lekat padanya sehingga melahirkan kasih sayang si ibu dan ketergantungan si anak. Dari keibuan ini maka muncullah persaudaraan sepersusuan. Jadi, keibuan ini merupakan asal (pokok), sedangkan yang lain itu mengikutinya.
Dengan demikian, kita wajib berhenti pada lafal-lafal yang dipergunakan Syari' di sini. Sedangkan lafal-lafal yang dipergunakanNya itu seluruhnya membicarakan irdha' dan radha'ah (penyusuan), dan makna lafal ini menurut bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah sangat jelas dan terang, yaitu memasukkan tetek ke mulut dan menghisapnya, bukan sekadar memberi minum susu dengan cara apa pun.
Saya kagum terhadap pandangan Ibnu Hazm mengenai hal ini. Beliau berhenti pada petunjuk nash dan tidak melampaui batas-batasnya, sehingga mengenai sasaran, dan menurut pendapat saya, sesuai dengan kebenaran.
Saya kutipkan di sini beberapa poin dari perkataan beliau, karena cukup memuaskan dan jelas dalilnya. Beliau berkata:
"Adapun sifat penyusuan yang mengharamkan (perkawinan) hanyalah yang menyusu dengan cara menghisap tetek wanita yang menyusui dengan mulutnya. Sedangkan orang yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan bejana atau dituangkan ke dalam mulutnya lantas ditelannya, dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan kedalam mulut, hidung, atau telinganya, atau dengan suntikan, maka yang demikian itu sama sekali tidak mengharamkan (perkawinan), meskipun sudah menjadi makanannya sepanjang masa.
Alasannya adalah firman Allah Azza wa Jalla: 'Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuanmu sepersusuan ...' (an-Nisa':23)
Dan sabda Rasulullah saw.:
"Haram karena susuan apa yang haram karena nasab."
Maka dalam hal ini Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan nikah kecuali karena irdha' (menyusui), kecuali jika wanita itu meletakkan susunya ke dalam mulut yang menyusu. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi): ardha'athu-turdhi'uhu-irdha'an, yang berarti menyusui. Tidaklah dinamakan radha'ah dan radha'/ridha (menyusu) kecuali jika anak yang menyusu itu mengambil tetek wanita yang menyusuinya dengan mulutnya, lalu menghisapnya. Dikatakan (dalam qiyas ishtilahi, dalam ilmu sharaf): radha'a - yardha'u/yardhi'u radha'an/ridha'an wa radha'atan/ridha'atan. Adapun selain cara seperti itu, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, maka sama sekali tidak dinamakan irdha', radha'ah, dan radha', melainkan hanya air susu, makanan, minuman, minum, makan, menelan, suntikan, menuangkan ke hidung, dan meneteskan, sedangkan Allah Azza wa Jalla tidak mengharamkan perkawinan sama sekali yang disebabkan hal-hal seperti ini.
Abu Muhammad berkata, Orang-orang berbeda pendapat mengenai hal ini. Abul Laits bin Sa'ad berkata, 'Memasukkan air susu perempuan melalui hidung tidak menjadikan haramnya perkawinan (antara perempuan tersebut dengan yang dimasuki air susunya tadi), dan tidak mengharamkan perkawinan pula jika si anak diberi minum air susu si perempuan yang dicampur dengan obat, karena yang demikian itu bukan penyusuan, sebab penyusuan itu ialah yang dihisap melalui tetek. Demikianlah pendapat al-Laits, dan ini pula pendapat kami dan pendapat Abu Sulaiman --yakni Daud, imam Ahli Zhahir-- dan sahabat-sahabat kami, yakni Ahli Zhahir."'
Sedangkan pada waktu menyanggah orang-orang yang berdalil dengan hadits: "Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah karena lapar," Ibnu Hazm berkata:
"Sesungguhnya hadits ini adalah hujjah bagi kami, karena Nabi saw. hanya mengharamkan perkawinan disebabkan penyusuan yang berfungsi untuk menghilangkan kelaparan, dan beliau tidak mengharamkan (perkawinan) dengan selain ini. Karena itu tidak ada pengharaman (perkawinan) karena cara-cara lain untuk menghilangkan kelaparan, seperti dengan makan, minum, menuangkan susu lewat mulut, dan sebagainya, melainkan dengan jalan penyusuan (menetek, yakni menghisap air susu dari tetek dengan mulut dan menelannya), sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. (firman Allah):
"... Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim." (al-Baqarah: 229)2
Dengan demikian, saya melihat bahwa pendapat yangmenenteramkan hati ialah pendapat yang sejalan dengan zhahir nash yang menyandarkan semua hukum kepada irdha' (menyusui) dan radha'/ridha' (menyusu). Hal ini sejalan dengan hikmah pengharaman karena penyusuan itu, yaitu adanya rasa keibuan yang menyerupai rasa keibuan karena nasab, yang menumbuhkan rasa kekanakan (sebagai anak), persaudaraan (sesusuan), dan kekerabatan-kekerabatan lainnya. Maka sudah dimaklumi bahwa tidak ada proses penyusuan melalui bank susu, yang melalui bank susu itu hanyalah melalui cara wajar (menuangkan ke mulut --bukan menghisap dari tetek-- dan menelannya), sebagaimana yang dikemukakan oleh para fuqaha.
Seandainya kita terima pendapat jumhur yang tidak mensyaratkan penyusuan dan pengisapan, niscaya terdapat alasan lain yang menghalangi pengharaman (perkawinan). Yaitu, kita tidak mengetahui siapakah wanita yang disusu (air susunya diminum) oleh anak itu? Berapa kadar air susunya yang diminum oleh anak tersebut? Apakah sebanyak yang dapat mengenyangkan --lima kali susuan menurut pendapat terpilih yang ditunjuki oleh hadits dan dikuatkan oleh penalaran-- dapat menumbuhkan daging, dan mengembangkan tulang, sebagaimana pendapat mazhab Syafi'i dan Hambali?
Apakah air susu yang sudah dicampur dengan bermacam-macam air susu lainnya terhukum sama dengan air susu murni? Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Yusuf, bahwa air susu seorang perempuan apabila bercampur dengan air susu perempuan lain, maka hukumnya adalah hukum air susu yang dominan (lebih banyak), karena pemanfaatan air susu yang tidak dominan tidak tampak bila dibandingkan dengan yang dominan.
Seperti yang telah dikenal bahwa penyusuan yang meragukan tidaklah menyebabkan pengharaman.
Al-Allamah Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni:
"Apabila timbul keraguan tentang adanya penyusuan, atau mengenai jumlah bilangan penyusuan yang mengharamkan, apakah sempurna ataukah tidak, maka tidak dapat menetapkan pengharaman, karena pada asalnya tidak ada pengharaman. Kita tidak bisa menghilangkan sesuatu yang meyakinkan dengan sesuatu yang meragukan, sebagaimana halnya kalau terjadi keraguan tentang adanya talak dan bilangannya."3
Sedangkan di dalam kitab al-Ikhtiar yang merupakan salah satu kitab mazhab Hanafi, disebutkan:
"Seorang perempuan yang memasukkan puting susunya kedalam mulut seorang anak, sedangkan ia tidak tahu apakah air susunya masuk ke kerongkongan ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak mengharamkan pernikahan.
Demikian pula seorang anak perempuan yang disusui beberapa penduduk kampung, dan tidak diketahui siapa saja mereka itu, lalu ia dinikahi oleh salah seorang laki-laki penduduk kampung (desa) tersebut, maka pernikahannya itu diperbolehkan. Karena kebolehan nikah merupakan hukum asal yang tidak dapat dihapuskan oleh sesuatu yang meragukan.
Dan bagi kaum wanita, janganlah mereka menyusui setiap anak kecuali karena darurat. Jika mereka melakukannya, maka hendaklah mereka mengingatnya atau mencatatnya, sebagai sikap hati-hati."4
Tidaklah samar, bahwa apa yang terjadi dalam persoalan kita ini bukanlah penyusuan yang sebenarnya. Andaikata kita terima bahwa yang demikian sebagai penyusuan, maka hal itu adalah karena darurat, sedangkan mengingatnya dan mencatatnya tidaklah memungkinkan, karena bukan terhadap seseorang yang tertentu, melainkan telah bercampur dengan yang lain.
Arahan yang perlu dikukuhkan menurut pandangan saya dalam masalah penyusuan ini ialah mempersempit pengharaman seperti mempersempit jatuhnya talak, meskipun untuk melapangkan kedua masalah ini juga ada pendukungnya.
Khulashah
Saya tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam "bank susu" selama bertujuan untuk mewujudkan maslahat syar'iyah yang muktabarah (dianggap kuat); dan untuk memenuhi kebutuhan yang wajib dipenuhi, dengan mengambil pendapat para fuqaha yang telah saya sebutkan di muka, serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan argumentasi yang saya kemukakan di atas.
Kadang-kadang ada orang yang mengatakan, "Mengapa kita tidak mengambil sikap yang lebih hati-hati dan keluar dari perbedaan pendapat, padahal mengambil sikap hati-hati itu lebih terpelihara dan lebih jauh dari syubhat?"
Saya jawab, bahwa apabila seseorang melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, maka tidak mengapalah ia mengambil mana yang lebih hati-hati dan lebih wara' (lebih jauh dari syubhat), bahkan lebih dari itu boleh juga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh ke dalam sesuatu yang terlarang.
Akan tetapi, apabila masalah itu bersangkut paut dengan masyarakat umum dan kemaslahatan umum, maka yang lebih utama bagi ahli fatwa ialah memberi kemudahan, bukan memberi kesulitan, tanpa melampaui nash yang teguh dan kaidah yang telah mantap.
Karena itu, menjadikan pemerataan ujian sebagai upaya meringankan beban untuk menjaga kondisi masyarakat dan karena kasihan kepada mereka. Jikalau kita bandingkan dengan masyarakat kita sekarang khususnya, maka masyarakat sekarang ini lebih membutuhkan kemudahan dan kasih sayang.
Hanya saja yang perlu diingat disini, bahwa memberikan pengarahan dalam segala hal untuk mengambil yang lebih hati-hati tanpa mengambil mana yang lebih mudah, lebih lemah lembut, dan lebih adil, kadang-kadang membuat kita menjadikan hukum-hukum agama itu sebagai himpunan "kehati-hatian" dan jauh dari ruh kemudahan serta kelapangan yang menjadi tempat berpijaknya agama Islam ini. Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran. "(HR al-Kharaithi)
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya kamu diutus untuk memberikan kemudahan, tidak diutus untuk memberikan kesulitan." (HR Tirmidzi)
Manhaj (metode) yang kami pilih dalam masalah-masalah ini ialah pertengahan dan seimbang antara golongan yang memberat-beratkan dan yang melonggar-longgarkan:
"Dan demikian pula Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan ..." (al-Baqarah: 143)
Allah memfirmankan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Catatan kaki:
1 Maksudnya, tidak ada pengaruhnya penyusuan untuk mengharamkan perkawinan kecuali ... (Pen;.). ^
2 Al-Muhalla. karya Ibnu Hazm, juz 10, him. 9-11. ^
3 Al-Mughni ma'a asy-Syarh al-Kabir, juz 9, him. 194.^
4 Al-Ikhtiar, Ibnu Maudud al-Hanafi, juz 3, hlm. 120; dan lihat Syarah Fathul-Qadir, Ibnul Hammam, juz 3, him. 2-3
BAGAIMANA HUKUM PENCANGKOKAN TUBUH ?
PENGANTAR
Fatwa ini saya tulis sejak lama sebagai jawaban terhadap beberapa pertanyaan seputar masalah pencangkokan organ tubuh.
Masalah ini merupakan masalah ijtihadiyah yang terbuka kemungkinan untuk didiskusikan, seperti halnya semua hasil ijtihad atau pemikiran manusia, khususnya menyangkut masalah-masalah kontemporer yang belum pernah dibahas oleh para ulama terdahulu.
Dalam kaitan ini, tidak seorang pun ahli fiqih yang dapat mengklaim bahwa pendapatnyalah yang benar secara mutlak. Paling-paling ia hanya boleh mengatakan sebagaimana yang dikatakan Imam Syafi'i, "Pendapatku benar tetapi ada kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar."
Karena itu saya menganggap aneh terhadap kesalahpahaman yang muncul akhir-akhir ini yang menentang seorang juru dakwah yang agung, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi, karena beliau memfatwakan tidak bolehnya pencangkokan organ tubuh dengan didasarkan atas pemikiran beliau.
Sebenarnya Syekh Sya'rawi --mudah-mudahan Allah melindungi beliau-- tidak menulis fatwa tersebut secara bebas dan detail. Beliau hanya mengatakannya dalam suatu mata acara televisi, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam acara-acara seperti itu sering muncul pertanyaan secara tiba-tiba, dan jawabannya pun bersifat sepintas lalu, yang tidak dapat dijadikan acuan pokok sebagai pendapat dan pandangan ulama dalam persoalan-persoalan besar dan masalah-masalah yang sukar. Yang dapat dijadikan pegangan dalam hal ini adalah pendapat yang tertuang dalam bentuk tulisan, karena pendapat dalam bentuk tulisan mencerminkan pemikiran yang akurat dari orang yang bersangkutan, dan tidak ada kesamaran padanya.
Namun demikian, setiap orang boleh diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw. Sedangkan seorang mujtahid, apabila benar pendapatnya maka dia akan mendapatkan dua pahala; dan jika keliru maka diampuni kesalahannya, bahkan masih mendapatkan satu pahala.
Wa billahit taufiq, dan kepada-Nya-lah tujuan perjalanan hidup ini.
Pertanyaan:
Bolehkah seorang muslim mendonorkan sebagian organ tubuhnya sewaktu dia hidup untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain? Kalau boleh, apakah kebolehannya itu bersifat mutlak ataukah terikat dengan syarat-syarat tertentu? Dan apa syarat-syaratnya itu?
Jika mendonorkan organ tubuh itu diperbolehkan, maka untuk siapa saja donor itu? Apakah hanya untuk kerabat, atau hanya untuk orang muslim, ataukah boleh untuk sembarang orang?
Apabila mendermakan atau mendonorkan organ tubuh itu diperbolehkan, apakah boleh memperjualbelikannya?
Bolehkah mendonorkan organ tubuh setelah meninggal dunia? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan keharusan menjaga kehormatan mayit?
Apakah mendonorkan itu merupakan hak orang bersangkutan (yang punya tubuh itu) saja? Bolehkah keluarganya mendonorkan organ tubuh si mati?
Bolehkah negara mengambil sebagian organ tubuh orang yang kecelakaan misalnya, untuk menolong orang lain?
Bolehkah mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim ke tubuh orang muslim?
Bolehkah mencangkokkan organ tubuh binatang --termasuk binatang itu najis, seperti babi misalnya-- ke tubuh seorang muslim?
Itulah sejumlah pertanyaan yang dihadapkan kepada fiqih Islam dan tokoh-tokohnya beserta lembaga-lembaganya pada masa sekarang.
Semua itu memerlukan jawaban, apakah diperbolehkan secara mutlak, apakah dilarang secara mutlak, ataukah dengan perincian?
Baiklah saya akan mencoba menjawabnya, mudah-mudahan Allah memberi pertolongan dan taufiq-Nya.
Jawaban:
BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA DIA MASIH HIDUP?
Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.
Namun demikian, perlu diperhatikan disini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah:
"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..." (an-Nur: 33)
Akan tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.
Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.
Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?
Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya, bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara'.
Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.
Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.
Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?
Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."
Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.
Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor),seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya).
Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?
Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.
Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula halnya orang gila.
Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang dibawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal organ tubuh.
MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM
Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh dilakukan terhadap orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, menurut pendapat saya, orang kafir yang memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan Islam, orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?
Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim dan satunya lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yanglain ..." (atTaubah: 71)
Bahkan seorang muslim yang saleh dan komitmen terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah membantunya melakukan ketaatan kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini berbeda dengan ahli maksiat yang mempergunakan nikmat-nikmat Allah hanya untuk bermaksiat kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain.
Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi, sebagaimana firman Allah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..." (al-Anfal: 75)
Juga diperbolehkan seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada orang tertentu, sebagaimana ia juga boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus menangani masalah ini (seperti bank mata dan sebagiannya; Penj.), yang merawat dan memelihara organ tersebut dengan caranya sendiri, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila diperlukan.
TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH
Perlu saya ingatkan disini bahwa pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti
memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu --sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- adalah tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk konsumsi orang-orang kaya-- yang tidak lepas dari campur tangan "mafia baru" yang bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor --tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara' dan terpuji, bahkan Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:
"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?
Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah dia berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti?
Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan mendatangkan kemelaratan --meskipun kemungkinan itu kecil-- maka tidaklah terlarang dia mewasiatkannya setelah meninggal dunia nanti. Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai.
Umar r.a. pernah berkata kepada sebagian sahabat mengenai beberapa masalah, "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu dan tidak memberikan mudarat kepada dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang dapat dikatakan kepada orang yang melarang masalah mewasiatkan organ tubuh ini.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit yang sangat dipelihara oleh syariat Islam, yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."1
Saya tekankan disini bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.
Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.
Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf karena memang belum ada pada zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang kewajiban memandikannya, mengafaninya, menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan sebagainya.
Mendonorkan sebagian organ tubuh sama sekali tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan.
BOLEHKAH WALI DAN AHLI WARIS MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT?
Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi ahli waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?
Ada yang mengatakan bahwa tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau ahli warisnya tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.
Namun begitu, sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia maka dia tidak dianggap layak memiliki sesuatu. Sebagaimana kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa tubuh si mayit menjadi hak wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi syara' melarang mematahkan tulang mayit atau merusak tubuhnya itu karena hendak memelihara hak orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati.
Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan hak kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika terjadi pembunuhan dengan sengaja, sebagaimana difirmankan oleh Allah:
"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (al-Isra': 33)
Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan hukum qishash jika mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau banyak. Atau memaafkannya secara mutlak karena Allah, pemaafan yang bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti yang disinyalir oleh Allah dalam firmanNya:
"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..." (al-Baqarah: 178)
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka mempunyai hak mempergunakan sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya, sesuai kadar manfaat yang diperoleh orang sakit yang membutuhkannya meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat pahala karena tanamannya dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan, atau terkena gangguan, hingga terkena duri sekalipun ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat --setelah meninggal dunia-- dari doa anaknya khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka untuknya. Dan telah saya sebutkan bahwa sedekah dengan sebagian anggota tubuh itu lebih besar pahalanya daripada sedekah dengan harta.
Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama si sakit masih memanfaatkan organ yang didonorkan itu.
Sebagian saudara di Qatar menanyakan kepada saya tentang mendermakan sebagian organ tubuh anak-anak mereka yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga mereka tidak dapat bertahan hidup. Proses itu terjadi pada waktu mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia. Sedangkan beberapa anak lain membutuhkan sebagian organ tubuh mereka yang sehat --misalnya ginjal-- untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Saya jawab bahwa yang demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala, insya Allah. Karena yang demikian itu menjadi sebab terselamatkannya kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan para orang tua untuk melakukan kebaikan yang akan mendapatkan pahala dari Allah. Mudah-mudahan Allah akan mengganti untuk mereka -- karena musibah yang menimpa itu-- melalui anak-anak mereka.
Hanya saja, para ahli waris tidak boleh mendonorkan organ tubuh si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena yang demikian itu merupakan haknya, dan wasiat atau pesannya itu wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.
BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH
Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para wali untuk mendonorkan sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang tidak diketahui identitasnya, dan tidak diketahui ahli waris dan walinya, untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang sakit dan yang terkena musibah?
Tidak jauh kemungkinannya, bahwa yang demikian itu diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau karena suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya dulu si mayit berwasiat agar organ tubuhnya tidak didonorkan.
MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM
Adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.
Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, sesuai dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi itu bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.
Kalau begitu, maka yang benar adalah bahwa kekafiran atau keislaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri, yang oleh Al-Qur'an ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud disini bukanlah organ yang dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi, sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengannya adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
"... lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu mereka dapat memahami ..." (al-Hajj: 46)
"... mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) ..." (al-A'raf: 179)
Dan firman Allah:
"... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis ..." (at-Taubah: 28)
Kata najis dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).
Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.
PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM
Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar kedaruratannya," dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.
Mungkin juga ada yang mengatakan disini bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur'an dalam empat ayat, sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu kulitnya-- padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.
Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw. pernah melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, "Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak Maimunah." Lalu beliau bersabda:
"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."2
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?
Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara' ialah mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang didalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah, kencing, tinja, dan semua kotoran; dan manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.
TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR
Akhirnya pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain. Apakah hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah pelir ini tidak diperkenankan memindahkannya dari seseorang kepada orang lain?
Menurut pendapat saya, memindahkan buah pelir tidak diperbolehkan. Para ahli telah menetapkan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang memindahkan karakter khusus seseorang kepada keturunannya, dan pencangkokan pelir ke dalam tubuh seseorang, yakni anak keturunan --lewat reproduksi-- akan mewariskan sifat-sifat orang yang mempunyai buah pelir itu, baik warna kulitnya, postur tubuhnya, tingkat inteligensinya, atau sifat jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain.
Hal ini dianggap semacam percampuran nasab yang dilarang oleh syara' dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada orang lain sebagai bapaknya, dan lainnya, yang menyebabkan terjadinya percampuran keluarga atau kaum yang tidak termasuk bagian dari mereka. Maka tidaklah dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa buah pelir bila dipindahkan kepada orang lain berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal.
Demikian pula jika otak seseorang dapat dipindahkan kepada orang lain, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.
Wa billahit taufiq.
1 HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Aisyah sebagaimana disebutkan dalam al-Jami' ash-Shaghir. Dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Salamah dengan lafal: "Seperti memecahkan tulang orang yang hidup tentang dosanya." ^
2 Muttafaq 'alaih, sebagaimana disebutkan dalam al-Lu'lu' wal-Marjan, nomor 205.
MATA RANTAI SEJARAH INTELEKTUALITAS ISLAM, TOKOH DAN PENGARUHNYA TERHADAP DUNIA
ABASIYAH DAN TRADISI KEILMUAN
Masa kekuasaan Abbasiyah adalah zaman keemasan peradaban (pendidikan) Islam yang berpusat di Bagdad yang berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M), selain itu ada satu lagi kerajaan yang cukup menonjol dalam sejarah keemasaan Islam adalah kerajaan Umayyah di Spanyol yang berlangsung kurang lebih delapan Abab (711-1492). Masing-masing berpusat di Bagdad dan Cordova, dua tempat ini mewakili kejayaan negara Islam di Timur dan negara Islam di Barat.
Pembahasan topik ini cukup menarik mengingat pada masa ini adalah masa kejayaan Islam dalam bidang keilmuan, disamping kehebatan sistem politik, kemiliteran dan lain sebagainya yang kesemuanya kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah ini. Untuk kepentingan pendidikan kita terfokus kepada keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjelajah keilmuan dan dengan karya-karyanya mereka, mulai dari aliran, fiqh, tafsir, ilmu hadits teologi, filsafat sampai kepada bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, satra sampai kepada ilmu kedokteran. Tentunya kita masih ingat tokoh empat imam madhab, Ibnu Sina, Zakaria ar-Razi, Ibnu Maskawaih, al-Farabi, al-Kindi, dan sebagainya, mereka semua hidup pada masa ini.
Sebuah masyarakat (Abbasiyah) yang punya kesadaran yang tinggi akan ilmu, hal ini ditunjukan masyarakat yang sangat antusias dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, banyaknya perpustakaan-perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum dan juga hadirnya perpustakaan Bayt al-Hikmah yang disponsori oleh khalifah pada waktu yang membantu dalam menciptakan iklim akademik yang kondusif. Tak heran jika kita menemukan tokoh-tokoh besar yang lahir pada masa ini. Tradisi intelektual inilah yang seharusnya kita contoh, sebagai usaha sadar keilmuan kita dalam mengejar ketertinggalan dan ini segera lepas dari keterpurukan.
Dalam makalah ini penulis hanya membatasi kepada pembahasan seputar tradisi intelektual pada masa Abbasiyah dengan perpustakaan yang sangat berperan pada masa ini yaitu Bayt- al-Hikmah, bagaimana peran lembaga Bayt- al-Hikmah dalam pengembangan keilmuan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan apa saja tradisi keintelektualan yang terjadi pada masa ini(Abbasiyah).
Sekilas Daulah Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaan khilafah Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang Walaupun dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja'far al-Manshur, tetapi puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu :
1) al-Mahdi (775-785 M)
2) al-Hadi (775- 786 M)
3) Harun al-Rasyid (786-809 M)
4) al-Ma'mun (813-833 M)
5) al-Mu'tashim (833-842 M)
6) al-Wasiq (842-847 M)
7) al-Mutawakkil (847-861 M).
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang 23 tahun itu merupakan permulaan zaman keemasan bagi sejarah dunia Islam belahan timur, seperti halnya masa pemerintahan Emir Abdulrahman II (206-238 H/822-852 M) di Cordova merupakan permulaan Zaman keemasan dalam sejarah dunia Islam belahan Barat.
Khalifah Harun al-Rasyid memanfaatkan Kekayaannya untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya, lebih–lebih lagi dengan adanya lembaga keilmuan yaitu bayt al-hikmah. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi bagaikan perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan tempat berkumpul untuk berdiskusi.
Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.
Kehidupan Intelektual
Kehidupan intelektual di zaman dinasti Abbasiyah diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu al-quran dan Hadits. Dari kedua sumber ini lalu muncullah berbagai keilmuan lainnya. Ilmu-ilmu al-Qur-an dan ilmu-ilmu hadits adalah dua serangkaian seri pengetahuan yag menjadi pokok perhatian dan fokus perhatian waktu itu. Perhatian itu bisa dilihat dengan banyaknya kitab yang ditulis untuk menjelaskan al-Qur'an.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal kebangkitan Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :
1) Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
2) Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana. Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Kemajuan diraih paling tidak, dipengaruhi beberapa hal di antaranya: Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, sastra serta karya-karya dari Persia juga diterjemahkan. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
Tradisi yang paling berpengaruh dalam menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif adalah gerakan penterjemahan. Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase.
Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran, daripada hadits dan pendapat sahabat.
Dalam perkembangan pemikiran keilmuan keislaman. kita mengenal Imam-imam mazhab hukum yang empat, mereka semua hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah yaitu; Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi'i (767-820 M) Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M). Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Karya/buku-buku tafsir dari ulama’ yang hidup pada zaman abasiyah adalah kitab al-jami’ al-Bayan yang ditulis at-Tabari (225 H/839 M-310 H/923 M), al-Kasysyaf oleh az-Zamakhsyari (467 H/1075 M-538 H/1144 M), dan Mafatih al-Gaib oleh Fakhruddin ar-Razi (543 H/1149 M-606 H/1189 M). Disamping itu para ulama juga mengumpulkan hadits, seperti; al-Musnad oleh Ahmad bin Hambal (w. 241 H/885 M). pengumpulan enam kitab yang dikenal al-kutub as sittah dpelopori oleh Bukhori (256 H/870 M), Muslim (261 H/875 M), Abu Daud (275 H/888 M), at-Tirmizi (279 H/892 M), an-nisa’i (303 H/915 M), dan Ibnu Majah (273 H/886 M).
Tradisi berdiskusi juga telah berkembang, adanya bayt al-hikmah sebagai tempat berkumpul untuk bertukar pikiran dan berdebat masalah keilmuan membantu dalam menciptakan suasana keilmuan yang kondusif. Dari diskusi, maka muncullah berbagai pemikiran kreatif sampai kepada aliran-aliran pemikiran.
Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam.
Perkembangan Ilmu-ilmu umum bisa dilihat dari, misalnya; ilmu kedokteran (at-Tibb) dengan didukung adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Ilmu matematika, astronomi dikembangkan dengan fasilitas didirikannya observatorium pada masa khalifah al-Ma’mun di Sinjar. Dengan adanya observatorium itu menunjukan adanya tradisi penelitian/ekperimen yang tinggi di bidang ilmu eksak, tradisi ini juga berkembang pada penelitian hadits sehingga muncul berbagai kitab hadits.
Dalam bidang astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.
Bidang kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn. al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata.
Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu.
Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah.
Dalam bidang sejarah Islam terkenal nama at-Tabari, al-Birudi. Dan al-Mas'udi. Al-Mas’udi juga dikenal sebagai ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir. Sebagain besar sejarawan periode Abbasiyah mempelajari dan menulis tentang sejarah hidup Nabi SAW (sirah). Salah satu sirah yang adalah yang ditulis oleh Muhammad bin Ishaq (w. 150 H/767 M).
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Penerjemahan buku-buku asing marak dilakukan pada masa ini, tidak saja karya orang Nestoris dan aliran Neoplatonis dari Mesopotania juga banyak, bahkan khalifah juga berusaha untuk membeli berbagai karya ilmiah klasik dari kalangan manapun dan dari bahsa manapun termasuk bahasa yunani, persia dan lainya, termasuk musuh politik mereka sekalipun, jika tidak memperoleh manuskrip dengan penaklukan.
Perhatian masyarakat sangat tinggi dibidang sastra, bisa dikatakan Pada abad ini adalah abad keemasan sastra Arab dan sejarah, masyarakat arab sangat membanggakan sastra dan asal usul mereka, dalam periode awal abbasiyah telah didapati banyak terjemahan dari bahasa Pahleli atau adaptasi dari bahasa persia. Banyak orang-orang yang gemar untuk menulis sastra dan sejarah kabilah-kabilah mereka, kehebatan nenek moyang meraka sangat dibanggakan. Bagian sejarah yang penting adalah riwayat nabi Muhammad.
Berkembanganya pemikiran intelektual dan keagamaan pada periode ini (Abbasiyah) antara lain karena kesiapan umat Islam untuk menyerap budaya dan khazanah peradaban besar dan mengembangkannya secara kreatif, ditambah dengan dukungan dari khalifah pada waktu itu dengan mengfasilitasi terciptanya iklim intelektual yang kondusi. Sumbangsih Pada era ini, didukung sikap umat Islam yang terbuka terhadap seluruh umat manusia yang datang berinteraksi dengan mereka, hal inilah menimbulkan simpati dan mendorong orang-orang non arab (mawali) untuk masuk Islam. Kelompok ini ikut mamberi sumbangan besar bagi kemajuan paradaban pada masa ini. Para ilmuan pada masa ini menduduki posisi penting.
Latarbelakang Berdirinya Bayt- al-Hikmah
Pada masa daulah Abbasiyah, ibu kota Bagdad menjadi pusat intelektual muslim, di mana terjadi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Perpustakaan adalah salah satu cara yang ditempuh oleh orang dahulu untuk menyiarkan ilmu pengetahuan. Pada masa itu buku-buku sulit untuk dimiliki karena belum ada mesin percetakan sehingga penyebarannya masih melalui tulisan tangan. Sehingga wajar buku-buku yang ada hanya dimiliki atau mampu dibeli oleh golongan kaya atau yang memilki kemauan keras untuk menuntut ilmu pengetahuan. Oleh kerena itu keberadaan perpustakaan sangat menolong dan bermanfaat bagi orang-orang yang ingin menggali maupun menyebarkan ilmu pengetahuan.
Berbagai buku dikumpulkan diperpustakaan dan dibuka untuk umum. Dalam peradaban yang tinggi untuk ukuran saat itu, buku-buku mempunyai nilai moril yang sangat tinggi. Keberadaan buku dimuliakan, pengahargaan meraka terhadap buku-buku menjadikan meraka sangat mendukung pendirian dan keberadaan perpustakaan. Banyak perpustakaan yang tidak hanya didirikan di tempat-tempat umum oleh penguasa (khalifah), tetapi juga di rumah-rumah para pembesar dan orang kaya, karena bagaimanapun keberadaanya perpustakaan akan menjadi rumah itu lebih baik bersemarak dan tuan rumahnya menjadi orang terpandang dan mulia.
Tersedianya berbagai buku serta kajian ilmiah yang dilakukan dalam perpustakaan tersebut telah menjadi salah satu bibit tumbuhnya lembaga tinggi Islam yang pertama, seperti Akademi Bayt- al-Hikmah di Bagdad dan Akademi Dar al-Hikmah dengan Cairo. Jadi keberadaan perpustakaan dalam tradisi keilmuan Islam, mempunyai peran bukan saja sebagai sarana peminjaman buku, namun sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini juga yang terjadi pada perpustakaan Bayt- al-Hikmah yang disamping berfungsi sabagai perpustakaan untuk merangsang gerakan penerjemahan karya-karya logika, keilmuan dan filsafat dalam bahasa Arab juga telah menjadi pusat transmisi keilmuan pada masa daulah Abbasiyah.
Menurut Ibnu al-Nadhim, Bayt- al-Hikmah dibangan pada masa Khalifah Harun al-Rasyaid dan dilanjutkan pada masa Khalifah al-Amin untuk kemudian direnovasi kembali oleh Khalifah al-Ma’mun pada tahun 217/832 M dengan biaya sebesar satu juta dolar. Hal ini ditunjukan dengan adanya ‘Abu Sahl al-Fadl bin Naubakhat yang bertugas menerjemahkan buku-buku asing, yaitu dari buku-buku yang ditulis kedalam Persi ke dalam bahasa Arab di Khazanah al-Hikmah pada masa Harun al-Rasyid dan ‘Allan al-Syu’ubi asal Persia yang bertugas menulis buku-buku pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, Al-Ma’mun dan keluarga al-Baramikah.
Faktor-Faktor Pendorong Perkembangan Bayt al-Hikmah
Keberadaan Bayt- al-Hikmah yang membawa dunia intelektual Islam kemasa kejayaan dan keemasan abad tengah, tentu saja telah mengundang mnat para ahli untuk menganalisa dan mempelajari kondisi-kondisi internal sebagai faktor penyebab kemajuan perkembangannya. Disini dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong perkembangan Bayt- al-Hikmah tersebut, baik yang bersifat intern maupun ekstern.
Faktor–faktor intern yang dimaksud adalah:
1) Terciptanya stabilitas politik, kemakmuran ekonomi dan adanya dukungan dari khalifah Abbasiyah, karena mempunyai kecenderungan kepada ilmu pengetahuan, sebagai pendorong utama laju berkembangnya lembaga Bayt- al-Hikmah sejak masa khalifah al-Ma’mun. Khalifah ini selalu berupaya mendukung kegiatan Bayt- al-Hikmah, seperti memberi penghargan tinggi bagi sarjana-sarjana yang mempunyai reputasi yang tinggi dan bidangnya. Ia telah memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para penerjamah yang ditugaskan di Bayt- al-Hikmah.
2) Adanya kebebasan keintektualan dan interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim, serta toleransi dan suasana penuh keterbukaan.
3) Adanya respon umat Islam terhadap usaha pengembangan Ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat keagamaan dan disertai pemikiran yang rasional.
4) Menurut azzumardi Azra dalam bukunya; “Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Tinggi”, sebagai berikut:
“Kemajuan pendidikan seperti yang ada di Bayt- al-Hikmah ini, disamping didorong ajaran-ajarannya Islam yang menuntut penganutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,juga karena kemampuan masyarakat mewujudkan situasi keilmuan yang dinamis. Pendidikan tinggi Islam tidak bersifat eksklusif, ia terbuka terhadap pikiran-pikiran non-muslim. Objektifitas keilmuan yang direfleksikan dengan penerimaan diktum-diktum ilmiah secra kritis melalui perdebatan-perdebatan intelektual meratakan jalan bagi kemajuan pikiran Islam.
Pendidikan tinggi Islam sebagai pusat intelektual tidak berubah menjadi “menara gading” yang steril dan terasing dari lingkungan masyarakatnya. Ia responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan yang mengitarinya. Sebagaimana terlihat, ia terbuka bagi setiap pencinta Ilmu, tanpa dibarengi oleh birokrasi-birokrasi dan formalitas yang ketat.”
5) Adanya pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, di mana tiap-tiap golongan berusaha untuk mempertahankan wujud dirinya, dan memerlukan bahan-bahan perdebatan. Hal ini terjadi antara Mu’tazilah dan golongan Ahl al-Sunnah wal Jama’ah.
6) Situasi politik saat itu, dimana setiap tokoh yang berkuasa harus bisa mengambil hati rakyatnya agar tetap menaruh simpati pada pemimpinnya. Itulah para khalifah Abbasiyah telah mengalihkan perhatian rakyat pada pentingnya ilmu pengetahuan yang memang begitu diminati masyarakat Arab pada waktu itu.
7) Terpadunya peranan Bayt- al-Hikmah sebagai lembaga penerjemahan, akademi, perpustakaan dan observatorium, menyebabkan lembaga tersebut dapat mengoptimalkan perannya dalam transmisi ilmu pengetahuan.
Sedangkan beberapa faktor intern yang berperan besar dalam pendirian dan pengembangan Bayt- al-Hikmah ini adalah:
1) Adanya kesepakatan antara Kaisar Romawi dan Kalifah al-Ma’mun yag isinya telah memperkenankan kepada khalifah al-ma’mun untuk menjalin berbagai buku langka peninggalan Yunani kono yang ada di wilayah imperium Romawi dan membawa buku-buku tersebut ke Bayt- al-Hikmah di Bagdad.
2) Kesediaan orang-orang Kristen Nestorius untuk bekerja di Bayt- al-Hikmah dan membantu khalifah dalam menerjemahkan buku-buku asing tersebut ke dalam bahasa Arab seperti yang telah dilakukan oleh Hunain bin Ishaq dan murid-muridnya.
3) Muncul dan berkembangnya pemikiran Yunani dan Persia yang sangat mempengaruhi model pemerintahan khalifah Abbasiyah. Sebab pemikiran tersebut sangat mendukung untuk mmeperkenalkan idealnya manusia mengenai pengukuhan diri kalangan aristokrasi. Seorang aristokrat haruslah seorang yang menguasai berbagai bidang pengetahuan, kepustakaan, sejarah, filsafat, dan agama.
Keunggulan Bayt al-Hikmah
Koleksi yang dimiliki oleh Bayt al-Hikmah cukup lengkap mulai dari buku-buku agama Islam (kitab-kitab Tafsir, hadits/al-Kutub as Sittah, teologi sampai kepada buku Sains; Astronomi, Matematika, Sejarah, Kedokteran (Al Hawi oleh Muhammada bin Zakaria, Ali Abbas dengan kitab al- Malki, Ibnu Sina dengan al-Qanun fi at Tibb dan sebagainya) ditambah lagi dengan kitab-kitab sastra dan buku-buku yang dihadirkan dari hasil terjemahan. Koleksi yang dimiliki tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur'an berhiaskan emas dan perak disimpah diruang terpisah. Menurut Cyril Elgood:
Buku-buku lainya—tentang ilmu-ilmu hukum (figih), tata bahasa, retorika, sejarah, biografi, astronomi, dan ilmu kimia—tersimpan dalam rak (peti) buku yang luas di sekitar (sepanjang) dinding, yang terbagi dalam susunan di atas rak-rak buku, masing-masing memiliki satu pintu dengan sebuah kunci. Di atas pintu masing-masing bagian, tergantung satu daftar buku-buku yang ada di dalamnya, demikian pula peringatan (keterangan) tentang buku-buku yang tidak ada dari masing-masing cabang ilmu pengetahuan.
Bayt al-Hikmah bukan hanya sekedar sebagai perpustakaan saja dengan koleksi bukunya, tetapi dia berfungsi sebagai lembaga penerbitan dan lembaga penerjemahan, yang tentunya dari berbagai buku yang di terjemahkan tanpa melihat latar belakangnya dan hal ini mendapat dukungan yang tinggi dari khalifah pada waktu itu dengan menunjuk orang sebagai penerjemah dan sampai kepada pembelian buku dari daerah lain jika daerah itu belum di taklukan oleh khalifah.
Disamping itu Bayt al-Hikmah berfungsi sebagai observatorium, tempat untuk melakukan eksperimen, dan juga sebagai tempat berkumpul untuk berdiskusi, sehingga dari hasil diskusi dan penelitian ini maka akan menghasilkan ilmu baru dan nantinya akan di terbitkan menjadi buku.
Membangun Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam
Jika kita perhatikan masa kejayaan Islam (Abbasiyah), tentunya hal yang menarik kita perhatikan adalah tingginya tradisi keilmuan masyarakat. Tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang meraka kuasai. Bagi mereka adalah kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu.
Tradisi intelektual terlihat dari; kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau yang disponsori oleh khalifah, para ulama sengaja open hause bagi siapa aja yang datang kerumahnya untuk membaca (mencari ilmu). Kedudukan meraka juga dimata masyarakat sangat mulia. Sedemikian cintanya masyarakat akan ilmu sampai-sampai khalifah pada waktu itu untuk merebut hati masyarakat harus memberi perhatian kepada pengembangan ilmu, jadi tidak heran khalifah mendirikan perpustakaan dan beberapa penghargaan bagi ulama atau orang-orang yang berhasil menemukan keilmuan baru.
Hasil membaca meraka kemudian didiskusikan dan kembangkan lagi, meraka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat berdiskusi, dari sinilah memunculkan ide/keilmuan baru, tercipta tradisi menulis, menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi, sehingga kita bisa menikmati hasilnya dari karya-karya mereka.
Tradisi penelitian juga kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu dalam bidang sains; matematika; kedokteran, astronomi dan lainya. Hal ini juga kita bisa amati dari adanya observatorium yang berada di sinjar pada khalifah al-Ma’mun, atau adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Penelitian akan hadits dan lain sebagainya. Itulah Keingintahuan meraka yang sangat tinggi bukan hanya keilmuan yang bernuansa keislaman tapi juga bernuangsa ilmu alam.
Kebebasan—keterbukaan berpikir dan kecintaan ilmu memotivasi kegiatan penerjemahan pada waktu itu tanpa memandang dari mana buku itu dan siapa pengarangnya, mereka tidak melihat lagi latarbelakang agama, maupun bangsa (daerah), malah meraka bisa kerjasama dalam keilmuan dengan bangsa lain atau orang-orang non Islam tanpa sedikitpun takut akan hilang atau rusaknya akidah meraka.
Tradisi yang sama juga telah berkembang di tradisi keilmuan barat; motivasi mereka sangat tinggi untuk mencari ilmu, tradisi membaca dan berdiskusi tinggi, tradisi meneliti yang tinggi, keterbukaan berfikir dan kebutuhan untuk berkarya juga sangat tinggi. Teknologi dan informasi kebanyakan dikuasai oleh barat, banyak temuan dan peraih nobel pengetahuan bukan dari kalangan Islam.
Inilah menurut penulis kemajuan Barat dan Islam Abbasiyah dalam hal ilmu pengetahuan yang perlu kita kembangkan untuk kemajuan dibidang pendidikan Islam. Inilah yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dengan membangun tradisi keilmuan yang kondusif dalam lingkungan masyarakat akademis. Menciptakan tradisi membaca, tradisi menulis, berdiskusi, meneliti, keberanian untuk berfikir kreatif dan terbuka dengan keilmuan lainya.
Probem pendidikan Islam adalah problem sistemik, kita perlu melibatkan berbagai pihak untuk bisa lepas dari keterpurukan. Mulai dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan secara makro bagi sistem pendidikan nasional dan sebagai pengayom pelaksanaannya, lembaga pendidikan Islam, pendidik, peserta didik sampai kepada orang tua pendidik (anak didik) harus dilibatkan dengan resposibility yang tinggi.
Pemerintah menjadi faktor penting dalam membangun iklim belajar yang kondusif, yang mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai; sarana praktikum, buku dan gedung yang kondusif untuk sarana belajar dan akses pendidikan untuk warga miskin. Pemerintah harus cermat dalam menentukan anggaran pendidikan serta mengawalnya, sehingga tidak ada penyelewengan anggaran pendidikan yang hal itu memperngaruhi pelaksanaan program pendidikan.
Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektual (membaca, menulis, meneliti dan berdikusi serta berkarya) di kampus atau disekolah, misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang bisa mengembangkan daya pikir, kreatifitas, membuat program-program lainya untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.
Bagi orang tua membantu menciptakan suasana akademis dirumah, dengan mengarahkan meraka untuk belajar dan selalu memotivasi meraka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik, orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah terbantu oleh orang tua ketika mereka berada diluar sekolah. Antara sekolah (lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya. Hal ini memungkinan untuk mengetahui dan selanjutnya membicarkan problem-prolem pendidikan yang sedang terjadi, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk berbagai pihak
Pengembangan tradisi-tradisi keintelektualan, harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar dan dari lingkup terkecil, keluarga. Jika tradisi tersebut tidak dikembangkan dari pendidkan dasar dan keluarga, maka pendidik akan kesulitan menciptakan tradisi keilmuan untuk mereka, sehingga penciptaan tradisi itu selalu terlambat untuk diterapkan. Butuh proses yang panjang dalam mewujudkannya, tapi jangan pesimis melihat wajah pendidikan Islam saat ini.
Penutup
Pada masa inilah Islam meraih kejayaanya. Banyak kontribusi keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiyah.
Dari kajian ini, diharapkan mampu menyadarkan kita akan pentingnya lingkungan intelektual yang kondusif dan memotivasi untuk mencari ilmu. Belajar sejarah akan tidak ada gunanya jika kita tidak bisa mengambil pelajaran darinya. Amin. Wallauhu a’lam bisshowab
Daftar Pustaka
Amin Mansur. Sejarah Peradaban Islam.. (Bandung: Indonesia Spirit Faoundation, 2004)
Azra Azumardi, Esei-eseiIntelektual Muslim dan Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1998)
Hanafi Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
Hasan Ibrahim, Sejarah dan kebudayaan Islam (islamic History and Culture) terj. Djahdan Humam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989)
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abasiyah I. (Jakarta: Bulan Bintang. 1977)
Langgulung Hasan, Manusia Dan pendidikan; Suatu Analisa Psikologis, filsafat dan Pendidikan. (Jakarta: Al-Husna Baru, 2004) Cet. V
Lapidus Ira M.,. Sejarah Sosial Umat Islam (A-History of Islamic Societies), bag I, Terj. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999)
Lubis Nur Ahmad Fadhil. Ensiklopedi Tematis dunia Islam (Khilafah), (Jakarta: Ikhtiayas Baru Van Hoeve.)
Mahmudunnasir Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya. (Bandung: Rosda Karya, 1991)
Maryam Siti, ed. Sejarah Peradaban Islam; dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta: LESFI. 2003)
Nakosteen Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat; Deskripsi Analisis abad keemasan Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996)
Salabi, Ahmad. Tarikh al—Tarbiyah al-Islamiayah, (al-Misriyah: Maktabah al-Nadhaoh, 1987)
Watt W. Montgomery, Kejayaan Islam; Kajian kritis dari Tokoh Orientalis. (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1990)
Zuhairini dkk,. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1997)
Teknologi dan segala kemajuan yang dicapainya tidak akan terlepas dari ilmu pengetahuan dan kemajuannya. Maka amatlah penting bila kita melihat peran ajaran Islam bagi perkembangan ilmu pengetahuan, karena para ilmuwan Barat melihat bahwasanya segala kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan tidak ada kaitannya dengan Agama –di Barat maupun Timur- dengan argumen bahwasanya agama yang absolut ajarannya bersifat statis, sedangkan ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan progresif, dengan perbedaan tersebut –menurut ilmuwan Barat- agama tidak dapat mengikuti kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seperti yang telah diketahui, Yunani adalah tempat dimana lahir filsafat dan ilmu pengetahuan, sekitar 600 tahun sebelum masehi. Dalam pemikiran alam sekitar mereka, para filosof Yunani seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros, Heraklitus, Demokritus yang diikuti oleh Phytagoras, Socrates, Plato dan Aristoteles banyak memakai akal dalam melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Selanjutnya ditangan para filosof Yunani ilmu pengetahuan berkembang demikian pesatnya. Perlu ditegaskan disini, pada waktu itu ilmu dan filsafat merupakan satu kesatuan dan belum terpisahkan sebagaimana hari ini. Maka akal dalam ilmu pengetahuan, sama dengan filsafat, mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting sekali.
Selama ini ada asumsi bahwa antara agama (yang mempunyai ajaran absolut dan dogma yang diwahyukan dari Tuhan) dan ilmu pengetahuan yang banyak bergantung pada akal yang kebenarannya relatif dan dinamis, terdapat pertentangan keras. Lembaran-lembaran sejarah menunjukkan bahwa di Barat pada era medieval terjadi pertentangan yang sangat sengit antara ilmu pengetahuan dan agama; di Timur juga kita jumpai hal serupa pada masa antara abad 13 dan 20.
Disini timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya sikap agama (baca:Islam) terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan serta perkembangan tekhnologi? Jawaban pertanyaan ini terletak pada hakikat kedudukan akal dalam agama yang bersangkutan. Agama yang menjunjung tinggi akal tidak akan kesulitan dalam menjawab segala perubahan dan modernisasi karena ia tidak akan berbenturan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya akan mempunyai hubungan yang harmonis dan akur.
Dalam lembaran sejarah peradaban Islam kita bisa melihat hubungan yang harmonis antara agama dan akal, selama lima abad, dimulai dari abad ke delapan sampai abad ketiga belas Masehi. Hal tersebut sangat wajar terjadi, karena dalam Islam akal sebenarnya mempunyai kedudukan yang amat tinggi dan akal memiliki posisi penting dalam Islam.
Akal merupakan suatu daya yang hanya dimiliki manusia, oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Akal merupakan tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Islam sebagai agama pamungkas datang berbicara kepada akal dan bukan lagi pada perasaannya. Dalam banyak aspek keagamaan sendiri akal sangat berperan. Dalam ayat al-qur’an yang jumlahnya kurang lebih 6.250 itu, hanya 500 ayat yang membicarakan ajaran mengenai akidah, ibadah dan hidup kemasyarakatan. Disamping itu ada sekitar 150an ayat yang menerangkan tentang fenomena nature (alam). Mayoritas ayat-ayat tersebut turun dalam bentuk prinsip dan garis besar yang belum terperinci. Disini, dalam memahami perincian tersebut peran akal sangat besar. Pemakaian akal, yang mempunyai kedudukan tinggi dalam al qur’an dan hadits itulah yang kemudian disebut ijtihad. Oleh karena itu ijtihad (menurut mayoritas ulama) merupakan salah satu sumber dari ajaran Islam setelah al-qur’an dan sunnah.
Sumber agama adalah wahyu dan sumber ilmu pengetahuan adalah hukum alam ciptaan Tuhan (sunnatullah), keduanya berasal dari sumber yang satu, yaitu Allah. Maka antara keduanya tidak akan pernah ada pertentangan. Ayat kawniyyah dalam al-qur’an yang mengajarkan manusia agar memperhatikan fenomena alam, mendorong para ulama klasik untuk mempelajari dan meneliti alam sekitar. Berkembanglah dalam Islam, pada abad antara kedelapan dan ketiga belas Masehi, ilmu-ilmu pengetahuan duniawi. Perkembangan ini dimulai dengan penerjemahan berbagai buku Yunani kedalam bahasa arab yang terkonsentrasikan di Bayt al Hikmah Baghdad. Ilmu-ilmu yang tercakup dalam gerakan penerjemahan ini adalah kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi dan filsafat serta logika. Diantara buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah karangan-karangan dari Galinus, Hipokritus, Ptolomeus, Euclidus, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Buku-buku tersebut kemudian dipelajari oleh ulama-ulama Islam.
Ilmuwan dan ulama Islam zaman silam bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang mereka peroleh dari peradaban Yunani kuno, tapi mereka juga mengembangkan dan menambah serta mengkritisi karya-karya tersebut kedalam hasil penyelidikan dan penelitian mereka sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam bidang filsafat dan logika. Dengan demikian, lahirlah para ilmuwan disamping ulama yang ahli agama. Untuk pengembangannya didirikan universitas-universitas yang terkemuka, diantaranya adalah Universitas Cordoba di Spanyol, Al-Azhar di Kairo dan Universitas An-Nidzamiyyah di Baghdad. Universitas Cordoba ikut menyertakan orang-orang non-muslim dari negara-negara Eropa lainnya.
Ilmu yang pertama menarik perhatian Khalifah dan ulama waktu itu adalah kedokteran. ‘Ali bin Rabbar Al-Thabari pengarang buku Firdaus al-Hikmah adalah dokter pertama yang terkenal dalam Islam, Abu Bakar ar Razi (865-925 M) yang terkenal dengan nama Rhazes pernah menjadi pimpinan rumah sakit terkenal di Baghdad. Kedua magnum opusnya dalam bidang kedokteran, kitab Athibb al-Manshuri dan Al-Hawi diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Ada juga filosof Islam yang juga dikenal dalam bidang kedokteran, yaitu Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Al Qanun fi at-Thibbnya Ibn Sina dan Al-Kulliyyat fi at-Thibbnya Ibn Rusyd juga diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan dipergunakan selama ratusan tahun sebagai ‘buku wajib’ di Eropa.
Disamping itu juga muncul ilmuwan Islam dalam bidang astronomi dan aljabar, sebut saja Alfaraganus (Abu Abbas al-Farghani) dan Albattegnius (Muhammad bin Jabir al-Battani). Ada juga Umar Khayyam, yang menurut Hitti kalender hasil karyanya lebih tepat di banding kalender Gregorius. Teori Heliosentris ternyata juga sudah lama dikemukakan oleh al-Biruni jauh sebelum Copernicus dan Galileo. Dalam matematika, nama Muhammad Ibn Musa al Khawarizmi sangat Masyhur. Dalam optika dikenal nama Abu Ali Hasan bin al-Haytsam dengan magnum opusnya al-Manazib yang didalamnya ia menentang Teori Euclid. ia berpendapat bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan bukan sebaliknya. Dari proses pengiriman cahaya itulah timbul gambaran benda dalam mata. Dalam bidang geografi ada al-Mas’udi pengarang buku Muruj al-dzahab dan Ma’adin al-Jawhar, konon ia juga pernah singgah di kepulauan Indonesia disaat menjelajah dunia. Disamping al-Mas’udi ada Ibnu Batutah dengan buku Rihlah Ibn Batutah.
Dalam ilmu pengetahuan alam, ulama-ulama Islam mewariskan berbagai macam buku dari ilmu hewan, tumbuh-tumbuhan hingga geologi, bahkan, menurut Hitti, al-Jahiz dalam buku Kitab al-Hayawan berbicara tentang Evolusi dan Antropologi. Dan masih berderet nama-nama serta penemuan yang telah dihasilkan oleh ulama Islam terdahulu. Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa ilmu pengetahuan yang menghasilkan teori-teori ilmiah yang diajukan oleh ilmuwan Islam itu tidak mendapat tantangan dari para ulama. Ilmu dan agama berdampingan dengan begitu harmonis dan damai selama lima abad. Yang terjadi dalam sejarah peradaban Islam bukanlah pertentangan ilmu dan agama, melainkan pertentangan antar madzhab. Mihnah (inkuisisi) pernah dilaksanakan kaum mu’tazilah terhadap golongan yang tidak sependapat dengannya mengenai penciptaan al-qur’an. Rakyat dipaksa untuk menganut faham mu’tazilah. Demikian juga pengkafiran yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali terhadap para filosof muslim bukanlah pada persoalan ilmiah akan tetapi keyakinan mereka tentang kekekalan alam dan tidak adanya kebangkitan jasmani.
Ketika peradaban Islam mulai mundur, diikuti dengan cara pandang umatnya yang sempit, Eropa beramai-ramai menerjemahkan karya-karya ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin dan mengkajinya. Bersamaan dengan itu di Eropa berkembang pemikiran-pemikiran filosof Islam terutama Ibnu Rusyd, yang menyatakan bahwa agama samasekali tidak bertentangan dengan filsafat, ajaran agama dan inti filsafat sejalan. Berkembanglah kemudian di Eropa Averroisme dalam sejarah pemikirannya (meskipun Barat salah dalam memahami Ibn Rusyd; Pemikiran Ibn Rusyd membawa balancing antara agama dan filsafat, di Eropa averroisme membawa kepada double truth (kebenaran ganda); kebenaran yang dibawa oleh agama adalah benar demikian juga kebenaran ilmiah dan filsafat).
Tonggak awal kebangkitan Eropa yang dinamakan dengan Renaissance, sedikit banyak lahir atas pengaruh averroisme (ar rusydiyyah) dan atas pengaruh penerjemahan karya-karya ilmiah ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin. Menurut Harun Nasution, pemindahan ilmu pengetahuan yang berkembang dalam Islam ke Eropa pada abad ketiga belas dan seterusnya paling tidak melalui beberapa jalur
Pertama, jalur Andalus dengan Universitas-Universitas handal yang dikunjungi oleh kaum terpelajar Eropa.
Kedua, Sisilia, yang pernah dikuasai umat Islam dari tahun 831 hingga 1091. Di pulau ini ilmu pengetahuan serta penemuan ilmiah para ilmuwan Islam meningkat dengan pesat. Bahkan setelah jatuhnya Sisilia ditangan kaum Norman yang dipimpin oleh Roger, pengaruh peradaban Islam masih sangat terasa disana. Mereka dikelilingi oleh para filosof dan ilmuwan muslim.
Pengaruh pemikiran rasional dalam ilmu pengetahuan dalam perkembangan Barat diakui oleh ilmuwan Barat sendiri seperti Gustav Le Bon, Henry Trece, anthony Nutting, C. Rsiler, Alferd Guillame, Rom Landau dan yang lainnya. Disamping pengakuan penulis-penulis Barat yang objektif terhadap pengaruh peradaban Islam terhadap lahirnya Renaissance dan peradaban Barat modern, beberapa penulis Barat juga mengakui pengaruh pemakaian akal dalam Islam terhadap kebebasan berpikir di Eropa dari belenggu agama (baca: Kristen).
Dari uraian ringkas diatas, sangatlah jelas kiranya bahwa kedudukan akal tinggi sekali dalam al-quran, pun para ulama setuju dengan kegiatan keilmuan dan penelitian, pertentangan yang ada bukanlah pertentangan antara agama vis a vis akal, melainkan pertentangan keyakinan antar madzhab, namun demikian bukan berarti akal adalah segala-galanya, karena akal bukanlah yang mengatur kita, ia hanya melayani, ajaran Islamlah yang harus menjadi guidance dalam upaya balancing antara agama dan akal. Tulisan ini bukan bermaksud untuk berapologi ria, melainkan peringatan kepada kita agar melihat dan meneladani sikap para ulama Islam klasik, untuk diambil sebagai uswatun hasanah. Umat Islam di era globalisasi dan teknologi ini, menurut Syamsudin Arif, dalam melihat sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti Barat dan anti ilmu pengetahuan dengan dalil bid’ah, ada yang menelan begitu saja tanpa sikap kritis-objektif, dan ada juga yang menerima dengan waspada, dalam artian tidak menelan mentah begitu saja tanpa telaah ulang dan proses pematangan (baca:Islamisasi). Sikap yang pertama dan kedua kurang tepat untuk diterapakaan karena keduanya sama-sama ekstrim dan radikal. Sikap yang bijak dan dewasa adalah bersikap adil, selalu menghargai namun mampu untuk meletakkannya pada porsi yang tepat. Disini umat Islam dituntut untuk jeli dalam memilah dan memilihnya. Umat Islam akan bisa meraih kembali kejayaan jika mau belajar dari sejarah, entah itu dari warisan klasik ulama Islam terdahulu ataupun pemikiran Barat modern sehingga tidak lagi terjerumus berkali-kali kedalam “lubang kegelapan” yang sama.(albi)
Muhammad Iqbal adalah orang yang menciptakan puisi itu yang lahir pada tahun 1873 di Sialkot, suatu kota tua bersejarah diperbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Ia datang dari keluarga miskin tetapi dengan bantuan beasiswa yang diperoleh di sekolah menengah dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus.
Pendidikan dasar ia tempuh di kota kelahirannya dan masuk Government College (sekolah tinggi pemerintah) Lahore. Ia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold yang meninggalkan Aligarh dan pindah bekerja di Government College Lahore. Iqbal lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta dua mendali emas karena baiknya bahasa Inggris dan bahasa Arab. Ia akhirnya memperoleh gelar M. A dalam filsafat pada tahun 1899. dan ia meninggal dunia pada 18 maret 1938.
Pada tahun 1901 Sir Abdul Qodir mulai menerbitkan majalah Urdhu Makhzan yang memberikan tempat berpijak sastra bagi banyak penulis berbakat yang sedang tumbuh.
Pena Iqbal sangat sibuk pada waktu itu dan ia menulis banyak syair mengenai berbagai macam masalah. Sayang sekali Iqbal menghilangkan banyak bait dari syair-syairnya yag ditulis pada waktu itu, dalam koleksi syairnya terakhir yang diterbitkan pada waktu ia hampir berumur 45 tahun.
Syair pada periode itu tampaknya jatuh pada tiga kategori; pertama adalah tentang yang berhubungan dengan alam, kedua Iqbal sebagai seorang sufi dan panteis sejati, dan ketiga Iqbal sebagai kampiun nasionalis India yang baru bangkit. Salah satu syairnya yang panjang ialah Taswir-i-Dart (gambaran kesusahan). Juga terdapat banyak syair dalam periode tersebut yang , melahirkan sentimen-sentimen patriotic dan nasionalistik dan yang paling masyhur syairnya adalah Tarana-i-Hudi (lagu kebangsaan India) pada waktu itulah periode pertama syair Iqbal berakhir pada tahun 1905.
Periode kedua sewaktu ia pergi meneruskan pelajaran di Eropa ia menulis beberapa lirik yang indah dalam bentuknya yang lama pada waktu ia belajar di Inggris dan Jerman, tetapi sikapnya terhadap banyak hal mengalami perubahan besar.
Syair pertamanya bahwa ia menunjukkan perubahan sikap terjadi pada bulan maret 1907 sewaktu ia menulis ghazal yang sangat masyhur:
Waktu keterbukaan telah tiba
Yang tercinta akan dapat terlihat oleh semua.
Rahasia yang tertutup oleh keheningan sekarang ini
Akan tampak nyata.
Sekembalinya dari Eropa, perubahan spiritual dan ideologis Iqbal makin mendalam yang menarik dari periode ini yang menggambarkan perubahan Iqbal dari nasionalis India kepada kampiun kebangsaan muslim. Salah satu ekspresi yang sangat penting dari perubahan sifat Iqbal adalah ”Islamic Anthem” (lagu kebangsaan Islam) yang disusunnya. Iqbal juga merupakan penyambung lidah umat muslim dengan pedih mengadu kepada Tuhan bahwa sekalipun diantara manusia di dunia, umat Muslim telah berbuat paling banyak untuk meningkatkan penyembahan kepada Tuhan yang maha esa namun mereka ditimpa takdir dengan segala macam malapetaka:
“ada bangsa-bangsa di samping kita ; ada orang-orang yang berbuat dosa diantara mereka juga,
Rakyat yang sederhana dan mereka yang mabuk dengan kebanggaan, kesombongan, masa bodoh dan licik.
Ratusan orang ada di sana yang menghina nama-Mu,
Tetapi rahmat-Mu turun di tempat-tempat tinggal mereka.
Dan tidak ada kecuali kilat yang menyambar kita
Kemudian ia juga menulis mengenai pendidikan modern:
“Anggur yang baru ini akan makin melemahkan pikiran:
Cahaya yang baru ini hanya akan makin menebalkan kegelapan.”
Periode ketiga sejak tahun 1907 Iqbal menganjurkan solidaritas dan persaudaraan muslim. Namun demikian itu tidak menyebabkan konflik dengan sesama rakyat senegerinya. Dan kenyataannya kaum nasionalis Hindu telah mendukung satu bentuk Pan Islam yang memudahkan pembentukan front bersama melawan Inggris. Pada 1921 peraturan seperti Dyarchy diperkenalkan di propinsi-propinsi, dan Punjab memperoleh dua orang menteri yang cakap, yaitu Sir Fazli Husaen dan Lala Hartishan Lal. Pada waktu itu umat Muslim merupakan mayoritas yang jelas di Punjab.
Dari beberapa syair Iqbal yang dipelajari oleh penulis, diketahui bahwa pemikiran Iqbal tidak hanya sebatas pemikiran keagamaan, tetapi juga merambah keberbagai wilayah, seperti budaya, sosial dan politik.
Pada wilayah budaya dan peradaban Mahmud berpendapat bahwa, peradaban Barat bukanlah merupakan peradaban yang ideal ia hanyalah merupakan kemajuan material. Peradaban Barat Menurutnya bagai dua mata sisi mata uang. Satu sisi menampakkan kebaikan dan sisi yang lain menunjukkan keburukan. Sisi ditunjukkan dengan kemampuannya dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang menghasilkan kemajuan material dan sisi buruknya adalah kegagalan mewujudkan perdamaian. Sebagaimana ungkapan puisinya:
Aduhai penduduk Barat, bumi Allah ini bukanlah warung
Dan emas kencana yang kau sayangkan kemilau itu
Tidaklah akan bernilai
Kebudayaanmu akan membunuh diri senidiri
Oleh kerja tanganmu
Dan sangkar yang kau letakkan di dahan rapuh
Akan jatuh terkulai
Pada wilayah sosial dan politik Iqbal bersikap tidak begitu saja menerima apa yang datang dari Barat, walaupun ia tidak anti barat bahkan ia dalam banyak hal sangat responsip terhadap kemajuan Barat. Ia mengkritik kapitalisme dan sosialisme yang di sana sini terdapat kekurangan.
Aku akan membawa pemberian darimu ke India,
Dan menjadikan orang lain menangis seperti aku sekarang ini.
Muhammad Iqbal, penyair, pujangga dan filosof besar abad ke-20, dilahirkan di Sialkot, Punjab, Pakistan pada 9 Nopember 1877.
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengangkat seorang pemikir, pujangga, pembaharu Islam Iqbal yang bukan saja berpengaruh di negerinya Pakistan tapi juga di Indonesia sendiri. Disini penulis menitik beratkan pada pemikirannya di bidang hukum Islam walaupun disinggung sedikit tentang perannya dibidang perpolitikan.
Di dalam kehidupannya Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi lewat tarian penanyalah yang menghempaskan bangunan unionist dan meratakan jalan untuk berdirinya Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia mengkritik sebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang didalam kejumudan.
Iqbal berasal dari keluarga miskin, dengan mendapatkan beasiswa dia mendapat pendidikan bagus. Keluarga Iqbal berasal dari keluarga Brahmana Kashmir yang telah memluk agama Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal, dan menjadi penganut agama Islam yang taat.
Pada usia sekolah, Iqbal belajar Al Qur’an di surau. Disinilah Iqbal banyak hapal ayat-ayat Al Qur’an yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan keislamannya.
Selanjutnya di meneruskan ke Scottish Mission School, Sialkot. Disini dia bertemu guru ternama sekaligus teman karib ayahnya, Sayid Mir Hasan. Pengaruh Mir Hasan ini sangat kuat pada dirinya ini dibuktikannya dengan menolak pemberian gelar Sir oleh pemerintah inggris pada tahun 1922, sebelum gurunya mendapat gelar kehormatan pula, yaitu Syams al- ‘Ulama.
Dalam sebuah sajaknya Iqbal mengakuinya :
Cahaya dari keluarga Ali yang penuh berkah
Pintu gerbangnya dibersihkan senatiasa
Bagiku bagaikan Ka’bah
Nafasnya menumbuhkan tunas keinginanku, penuh gairah hingga menjadi kuntum bunga yang merekah indah
Daya kritis tumbuh dalam diriku oleh cahayanya yang ramah .
Pada tahun 1895 Iqbal menyelesaikan pelajarannya di Scottish dan pergi ke Lahore. Disini ia melanjutkan studi Government College gurunya adalah - Sir Thomas Arnold. Disini dia mendapatkan dua kali medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab karena kejeniusannya pula dia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold. Arnoldlah yang mendorongnya agar -melanjutkan pendidikannya ke Inggris karena melihat kejeniusan Iqbal. Setelah selesai di Government College Iqbal belajar ke Eropa pada tahun 1905. Dari sini pengembangan intelektual Iqbal dimulai.
Iqbal memilih melanjutkan di Cambridge University, Inggris, ia belajar filsafat dengan Mc. Taggart, kemudian mengambil gelar doktor (Ph.D) di Munich, Jerman dan lulus pada tahun1908 dengan disertasi berjudul The development of Methapysics of Persia. Didalam disertasi inilah Iqbal mengkritik tajam ajaran tasawwuf dengan mengatakan tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam ajaran Islam yang murni. Iqbal melihat ada nilai-nilai baik yang transendental yang tak dimiliki oleh Eropa. Barat, menurut Iqbal, kehilangan semangat spritual dan terlalu menumpukan pada rasio dalam menjawab setiap problematika.”Meskipun ia mengakui Eropa baik, tapi ia yakin Islam lebih baik. Dia kembali dari Eropa sebagai Pan-Islamis bahkan bisa dikatakan sebagai puritan. Perubahan spritual dan ideologis Iqbal makin dalam dari nasionalis menjadi kampiun kebangsaan Muslim dia merasa yakin bahwa antara Hindu dan Islam harus punya negara masing-masing secara terpisah dan tindakannya sendiri sudah jelas.
Iqbal kembali pada tahun 1908. Dia berprofesi sebagai pengacara, guru besar di Universitas dan penyair sekaligus. Namun dia meninggalkan profesinya dan menjadi penyair sejati. Ia berpendapat bahwa kemunduran ummat Islam selama lima ratus tahun terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Di masa Pakistan inilah bukunya banyak dihasilkan.
1. Karya yang berbahasa Persia Asrar-i- Khindi, Rumuz-i-Berkhudi, Payam-i-Masriq, Zaburi-i- Ajam, Jawid Namah, Pasceh Baid Aye Aqwam-i-Syarq dan Lala-i-Thur.
2. Yang berbahasa Urdu : Ilmu Al-Iqtisad (ilmu ekonomi), Bang-i-Dara, Bal-i- Jibril, Zarb-i-Kalim, Arughan-i-Hijaz, Iblis ki Majlis-i-Syura, Iqbal Namas, Makatib Iqbal, dan Bagiyat-i-Iqbal.
3. Yang berbahasa Inggris : Develoment of Methaphysies in Persia : A Contribution to the history of Moslem, Philoshopy (perkembangan metafisika Persia suatu sumbangan untuk sejarah filsafat Islam) dan the Reconstroction of Religius Thought in Islam (pengembangan kembali alam pikiran Islam).
Pergeseran pemikiran Iqbal ini lebih memprlihatkan bentuknya dalam karyanya Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Buku ini kumpulan dari enam ceramahnya di Madras, Hyderabad dan Aligarh. Edisi pertama buku ini terbit di Lahore pada 1930, berjudul Six Lecturer on the Reconsturction of Religious Thought in Islam. Pada edisi berikutnya disederhanakan menjadi - The Reconstruction of Religious Thought in Islam disini dia telah mencapai posisinya sebagai pemikir liberal yang telah mencapai kematangan intelektual. Dia mengecam terhadap filsafat Yunani, terutama Plato, sebagai penyebab mundurnya ummat Islam.
a. Al qur'an
Sebagai seorang Islam yang di didik dengan cara kesufian, Iqbal percaya kalau al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun demikian dia menyatakan bahwa bukanlah al – Qur’an itu suatu undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al Qur’an adalah - membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Qaur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah dituntut pengembangannya.Ini didalam rumusan fiqh dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam struktur Islam. Disamping itu al – Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al – Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “ Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.
Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al Qur’an, namun dia melihat ada dimensi-dimensi didalam al Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurutnya para mullah dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya. Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh ketidakmampuan umat Islam India dalam mamahami - al -Qur’an disebabkan ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan - al-Qur’an. Dia begitu terobsesi untuk menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi legalita dan kehidupan duniawi. Sedangkan Kristen gagal dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi, karena lebih mementingkan segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam kegagalan kedua agama tersebut al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan kehidupan individual dan sosial ;ritual dan moral. Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali, inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.
Pandangan Iqbal tentang kehidupan yang equilbirium antara moral dan agama ; etik dan politik ; ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam. Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama arus kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak keruntuhan dan kehancuran Bagdad, 1258. sehingga masyarakat Islam tidak mampu lagi menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam - (al-Qur’an).
Akhirnya walaupun tidak ditegaskan kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi, akibatnya, hukum pun menjadi statis dan al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap problematika.
Inilah yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.
Akan tetapi, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan.
Sejak dulu hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.
Kalangan orientalis yang pertama kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz Goldziher. Menurutnya sejak masa awal Islam dam masa-masa berikutnya , mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya hingga menjadi berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist.
Iqbal setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi belaka.
Oleh karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al – Qur’an.
Pandangan Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.
Katanya “exert with a view to form an independent judgement on legal question”, (barsungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu :
1. Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja.
2. Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.
3. Otoritas Khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzdab.
Namun Iqbal lebih memberi perhatian pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl- al- sunnah, tetapi dalam kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum al Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.
Akibat ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor :
1. Gerakan rasionalisme yang liar, dituduh sebagai penyebab disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian al – Qur’an.Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab. Dan sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam. Disamping itu, perkembangan ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis. Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya.
2. Setelah Islam menjadi lemah penderitaan terus berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat peradaban Islam diserang dan diporak-porandakan tentara mongol pimpinan Hulagu Khan.
3. Sejak itulah lalu timbul disintegrasi. Karena takut disintegrasi itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk menyeragamkan pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan bid’ah-bid’ah dam menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah keadaan dalam dunia Islam.
Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali ijtihad-ijma’ dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan umum. Bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran spekulatif subjektif yang bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.
Oleh karenanya Iqbal memandang perlu mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk paling tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam.
Dari pemikiran-pemikiran Iqbal diatas tadi, sudah saatnya kita bergerak dan tidak terpaku dengan keadaan sekarang didalam kejumudan. Kita ingin umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.
Dan jangan sampai kebebasan yang ada disalah gunakan untuk kepentingan sendiri dan golongan dengan mengatas namakan hukum agama. Kita sekarang memang sedang krisis ketauladanan. Yang ada hanya pembodohan umat dimana-mana. Hukum dibuat bagai mainan. Bahkan yang lebih parah lagi kalau sudah seorang ulama memperalat masyarakat Islam hanya untuk memperkaya diri sendiri dan keluarga.
Muhammad Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Di dalam dirinya berhimpun kualitas kaliber internasional sebagai seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, pendidik, filosof dan mujtahid. Sebagai pemikir Muslim dalam arti yang sesungguhnya, Iqbal telah merintis upaya pemikiran ulang terhadap Islam secara liberal dan radikal.
Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak dan perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum Islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak dan perubahan ini?. Dengan tepat Iqbal menjawab, “bisa, kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir ‘Umar Ibn Al Khathtab”.
Muhammad Iqbal. Drs., “Rekonstruksi Pemikran Islam”, Kalam Mulia, 1994, hal. 1
Ali. H. M., “ Alam Pemikiran Islam di India dan Paskistan”, Mizan, Bandung 1993. hal. 173
Muhammad Iqbal. Drs, op.cit, hal. 44
H.M Mukti Ali, Op. Cit., hal. 174
Muhammad Iqbal. Drs, Op.cit,, hal. 47
Ihsan Ali Fauzi dan Nurul Agustina, Op. Cit., hal. 143
Muhammad Iqbal. Drs., Op., Cit., hal. 49
Muhammad Iqbal. Drs, op.cit,, hal. 51
Harun Nasution, “Pembaharuan dalam Islam”, Bulan bintang, Jakarta, 1987, Cet. Ke-05 hal. 191
Departemen Pendidikan Nasional.,”Ensiklopedi Islam”,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2002
Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 59
Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal. 68 – 69
Harun Nasution, Op. cit hal. 191
Muhammad Iqbal. Drs, Op., cit,, hal.84 – 92
PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI
Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1]
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2]
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3]
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.[4]
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[5]
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6]
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.
Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.
K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.[7]
Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[8]
Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.
Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.
Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.
Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9]
Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.[10]
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.[11]
Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.[12]
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[13]
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.[14]
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.[15]
Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.
Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.
Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.
Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.
kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.
Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.
Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.
Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul.
Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah,
ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.
Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.
Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.
Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.[16]
Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[17]
Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).[18]
KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar.
Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[19]
Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).[20]
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.[21]
Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.
Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[22]
Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat.
Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).
Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.
Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
[1]. A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004 h. 319
[2]. Ibid, h. 319
[3]. httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm
[4]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[5]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm
[6]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 319-320
[7]. Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993. h. 138-139
[8]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320
[9]. httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan-dan.html
[10]. Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 309
[11]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[12]. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005). h. 218
[13]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[14]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html
[15]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm
[16]. httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurut-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm
[17]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320
[18]. Ensiklopedia Islam, Op Cit. h. 309
[19]. Nuril M Nasir Alumnus Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm
[20]. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Cet IV. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). h. 102
[21]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm
[22]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 321
Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan eorak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir.
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu.
Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.
Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah b. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.
Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.
1. Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
2. Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
3. Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersifat permanen.
4. Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.
Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.
Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini.
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
d.Telaah Kritis Pemikirannya
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah.
Ensiklopedi Islam Indonesia. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2000).
Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2001).
Mujib, A, dkk. Intelektualisme Pesantren. (Diva Pustaka. Jakarta. 2003).
Wikipedia Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. (Mizan. Jakarta. 2002).
Menilai Tingkat Kesehatan BMT Dari Aspek Manajemen
Pendahuluan
BMT merupakan salah satu model lembaga keuangan syariah yang paling sederhana yang saat ini banyak muncul dan tenggelam di
Suatu BMT tetap harus memenuhi kriteria-kriteria layaknya sebuah bank syariah besar dengan beribu-ribu nasabahnya. Salah satu alasan yang sederhana adalah sebuah lembaga yang mengelola uang masyarakat, tentunya harus kredibel, dapat dipercaya oleh masyarakat. Siapapun pasti ingin dirinya diyakinkan bahwa uang yang dia simpan di suatu BMT aman dari resiko apapun dan setiap saat dapat mengambil uangnya kembali.
Tulisan berikut hanya menggambarkan sebagian kriteria-kriteria untuk menilai apakah suatu BMT mempunyai status baik atau tidak, namun dirasa cukup untuk dijadikan indikator.
Tingkat Kesehatan BMT
Tingkat kesehatan BMT merupakan suatu kondisi yang terlihat sebagai gambaran kinerja dan kualitas BMT, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor dan dapat mempengaruhi aktivitas BMT serta pencapaian target-target BMT, untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Penilaian tingkat kesehatan BMT sangat bermanfaaat untuk memberikan gambaran mengenai kondisi aktual BMT kepada pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bagi nasabah dan pengelola. selain itu, dengan mengetahui tingkat kesehatannya akan membantu pihak-pihak tertentu dalam pengambilan keputusan sehingga terhindar dari kesalahan pengambilan keputusan.
Beberapa faktor baik internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung tingkat kesehatan BMT, yaitu:
1. faktor SDM, kondisi BMT sangat dipengaruhi oleh kemampuan SDM dalam mengelola BMT
2. faktor sumber daya, termasuk didalamnya adalah dana dan fasilitas kerja
Dalam melakukan penilaian terhadap BMT terdapat 5 aspek yang menjadi acuan dasar penilaian. Dasar penilaian ini mengacu pada sistem penilaian kesehatan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) yang dikenal dengan istilah CAMEL (Capital adequacy, Asset quality, Management of risk, Earning ability, dan Liquidity sufficiency). Kelima aspek tersebut adalah modal, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas.
Penilaian Aspek Manajemen BMT
Penilaian kuantitatif terhadap manajemen meliputi beberapa komponen, yaitu manajemen permodalan, kualitas aktiva, manajemen umum, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas. Sedangkan perhitungan nilai kredit didasarkan pada hasil penilaian jawaban (jumlah nilai positif) dari pertanyaan mengenai manajemen BMT yang secara keseluruhan berjumlah 60 pertanyaan. Berikut pertanyaan-pertanyaan tersebut:
Permodalan
1. Memiliki ketentuan tertulis mengenai penetapan besarnya simpanan pokok, simpanan wajib, pemupukan modal dari cadangan laba serta tatacara pelaksanaannya (P/N)
2. Memiliki ketentuan mengenai perlakuan terhadap inventaris, investasi dan harta lembaga lainnya berkenaan dengan alokasi modal (P/N)
3. Memiliki ketentuan mengenai tingkat kelancaran pembiayaan (aturan kolektibilitas) (P/N)
4. Memiliki aturan tertulis mengenai Cadangan Penghapusan Piutang (CPP) (P/N)
5. Memiliki kebijakan untuk menyisihkan sebagian labanya untuk memperkuat permodalan (P/N)
6. Tingkat pertumbuhan laba ditahan sama atau lebih besar dari tingkat pertumbuhan asset (P/N)
7. Tingkat pertumbuhan modal BMT sama atau lebih besar dari tingkat pertumbuhan asset (P/N)
8. BMT memiliki aturan yang mengatur mengenai penghapusbukuan pinjaman yang macet (P/N)
9. BMT senantiasa memantau kondisi finansial yang berkaitan langsung dengan kecukupan modal BMT (P/N)
10. BMT memiliki aturan tertulis mengenai aturan modal hibah, modal penyertaan serta alokasinya (P/N)
Kualitas Asset
11. BMT memiliki kebijakan/aturan tertulis mengenai pinjaman kepada pihak internal (pengelola, pengurus, pemeriksa dan dewan syariah) (P/N)
12. BMT memiliki prosedur pembiayaan tertulis mulai dari proses permohonan, pencairan pinjaman, pengadministrasian dan pengawasannya (P/N)
13. BMT memiliki sistem dan prosedur tertulis mengenai penetapan penilaian dan pengikatan agunan (P/N)
14. BMT memiliki strategi tertentu yang tertulis dalam menangani pembiayaan bermasalah (P/N)
15. BMT senantiasa memantau konsistensi dan mematuhi penggunaan/prosedur pembiayaan (P/N)
16. BMT tidak melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) (P/N)
17. BMT tidak memperkenankan penetapan persyaratan yang lebih ringan untuk fasilitas pembiayaan kepada pihak internal (P/N)
18. Trend pinjaman bermasalah BMT membaik 6 bulan terakhir (P/N)
19. BMT mengadministrasikan agunan dengan baik dan aman (P/N)
Manajemen/Pengelolaan
20. Dalam pelaksanaannya BMT konsisten dengan sistem syariah (P/N)
21. BMT memiliki kebijaksanaan umum tertulis yang mencakup kegiatan utamanya (simpan pinjam) (P/N)
22. BMT memiliki rencana anggaran (proyeksi finansial) minimal untuk 1 tahun yang mencakup: penghimpunan dana masyarakat, target lending (pemberian pinjaman), pendanaan, pendapatan (P/N)
23. BMT memiliki perencanaan mengenai pengembangan/peningkatan kualitas SDM (P/N)
24. BMT senantiasa mengadakan perencanaan mingguan dan bulanan (P/N)
25. BMT senantiasa melakukan evaluasi terhadap capaian target dari perencanaan (P/N)
26. BMT secara reguler mengadakan rapat manajemen, operasional dan marketing (P/N)
27. BMT memiliki brankas untuk menyimpan uang dan jaminan (P/N)
28. BMT memiliki kantor yang terpisah dengan pihak lain (P/N)
29. Hasil seluruh rapat manajemen/operasional/marketing selalu dibuat notulen tertulis dan diadministrasikan dengan baik (P/N)
30. BMT memiliki struktur organisasi dan job description tertulis dan diketahui dan dilaksanakan oleh seluruh pengelola BMT (P/N)
31. BMT memiliki peraturan kekaryawanan (P/N)
32. BMT memiliki peraturan yang menjamin keamanan operasional BMT (P/N)
33. Frekuensi rapat pengurus minimal 1 kali dalam 1 bulan (P/N)
34. BMT memiliki jumlah pengelola yang purna waktu diatas 4 orang (P/N)
35. BMT memiliki sisdur simpan dan pinjam yang tertulis dan disahkan (P/N)
36. BMT memiliki kebijakan mengenai pengeluaran uang yang tertulis dan disahkan (P/N)
37. BMT memiliki sistem dan kebijakan akuntansi yang tertulis dan disahkan (P/N)
38. Gaji staff di BMT 1,5 kali UMR (P/N)
39. Gaji kepala bagian di BMT 2 kali UMR (P/N)
40. Gaji manajer di BMT 3 kali UMR (P/N)
Rentabilitas
41. BMT mempunyai kebijakan untuk membatasi/meniadakan pinjaman untuk usaha baru (P/N)
42. Dalam pemberian pinjaman BMT lebih mengutamakan kemampuan bayar daripada tersedianya agunan (P/N)
43. BMT menghindari pemberian pinjaman yang bersifat spekulatif/usaha yang belum dikuasai dan dipahami oleh BMT yang menghasilkan keuntungan tinggi tetapi beresiko tinggi (P/N)
44. Rencana kerja BMT memuat adanya upaya-upaya dalam mengusahakan sumber dana murah (P/N)
45. ROA (return on asset) BMT minimal 2,5 % atau cenderung meningkat dalam 6 bulan terakhir (P/N)
46. ROE (return on equity) BMT minimal 2,5 % atau cenderung meningkat dalam 6 bulan terakhir (P/N)
47. Tingkat pertumbuhan laba BMT sama atau lebih besar dari pertumbuhan asset (P/N)
48. Realisasi biaya operasional antara proyeksi anggaran dan realisasi anggaran tidak melebihi 15 % (P/N)
49. BMT memiliki ketentuan bahwa semua pengeluaran/biaya harus didukung dengan bukti-bukti yang valid (P/N)
Likuiditas
50. BMT memiliki kebijaksanaan tertulis yang menyangkut pengendalian likuiditas (P/N)
51. BMT memiliki kebijaksanaan/strategi khusus dalam mencari dan mempertahankan mitra- mitra funding potensial (P/N)
52. BMT merencanakan LDR dalam batas-batas yang sehat (P/N)
53. BMT memiliki asset yang likuid guna menjamin likuiditas (P/N)
54. BMT memiliki kredibilitas yang baik antar BMT sehingga memungkinkan sewaktu-waktu mendapat pinjaman dana guna menutupi kebutuhan likuiditasnya (P/N)
55. BMT pada umumnya dapat mempertahankan mitra pemilik dana yang relatif besar pada satu tahun terakhir (P/N)
56. BMT memiliki kebijakan dalam mengatur hubungan antara jumlah pinjaman yang akan diterima dari lembaga lain untuk menjaga likuiditasnya (P/N)
57. BMT memiliki kebijakan yang mengatur hubungan antara jumlah pinjaman yang diberikan dengan jumlah dana masyarakat (P/N)
58. Memiliki pedoman administrasi yang efektif untuk memantau kewajiban yang jatuh tempo (P/N)
59. Memiliki sistem informasi manajemen yang memadai untuk memantau keadaan likuiditas (P/N)
Kriteria Penilaian
Hitung jawaban-jawaban positif (P) anda, dan cocokkan dengan skala penilaian dibawah ini:
Kurang dari 20 (Sangat Kurang)
20 s/d < 30 (Kurang)
30 s/d < 40 (Lumayan)
40 s/d < 50 (Baik)
50 s/d 60 (sangat baik)